I.
Pendahuluan
Terpujilah inisiatif untuk membahas
topik menyangkut nasib si buah hati yang pada masa ini belum bermakna apa-apa,
tetapi di masa depan dialah yang mengukir sejarah Indonesia. Si buah hati ini dalam
bahasa formalnya disebut anak. Anak merupakan tunas harapan bangsa yang akan
melanjutkan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Atas dasar
itu, diperlukan perwujudan anak sebagai generasi muda berkualitas untuk
memperkuat daya saing bangsa.
Hasil proyeksi sensus penduduk tahun
2010, pada tahun 2014 penduduk Indonesia mencapai 252,2 juta jiwa. Sekitar
82,85 juta jiwa (32,9 %) di antaranya adalah anak-anak.[1] Data
tersebut menggambarkan bahwa investasi untuk anak adalah investasi untuk
sepertiga penduduk Indonesia. Mengingat bahwa anak merupakan masa depan bangsa,
maka muncul kepentingan bersama bangsa Indonesia untuk memenuhi hak setiap anak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mendapatkan perlindungan
dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi. Sebagai alat kekuasaan rakyat
dan petugas bangsa, maka negara berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama
tersebut.
71 tahun Indonesia merdeka,
pencapaian atas pemenuhan atau perlindungan hak-hak anak masih jauh dari ideal.
Dalam kurun waktu tahun 2011-2016 jumlah pelanggaran hak anak mencapai 22.109
kasus.[2]
Padahal, hak anak telah dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar
(UUD) 1945. Tingginya jumlah kasus pelanggaran hak anak menunjukkan ada
permasalahan dalam upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
Salah satu akar permasalahan ialah
abainya negara melindungi hak anak dengan mengizinkan anak perempuan melaksanakan
perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan “perkawinan
hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan ini bersifat
diskriminatif dan kontradiktif dengan berbagai peraturan yang melindungi
hak-hak anak.
Persoalan semakin pelik ketika
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 30-74/PUU-XII/2004 tertanggal 18
Juni 2015 yang menolak permohonan judicial
review Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terhadap UUD 1945. Putusan tersebut
memperkokoh pengabaian negara untuk melindungi hak-hak anak perempuan. Padahal,
perkawinan anak memiliki dampak negatif, seperti kehamilan atau melahirkan dini
yang berbahaya bagi kesehatan, melahirkan bayi yang kurang gizi, gangguan
kesehatan seksual dan reproduksi, berbagai gangguan psikologis, serta putus
sekolah.[3]
II.
Konsep dan Definisi Anak
dalam Kajian Ilmu Hukum
Hukum membedakan kedudukan anak dan
orang dewasa. Pembedaan ini merujuk pada kecakapan seorang manusia dalam
bertindak. Perbedaan ini berdampak pula pada pengaturan hak dan kewajiban yang
diemban oleh anak, orang tua, masyarakat, dan negara.[4]
Pasal 1 Konvensi tentang Hak-hak
Anak (Convention on the Rights of the
Child) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 tahun
1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak menyebutkan bahwa “anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Senada dengan konvensi
tersebut, pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan”. Penentuan batas usia anak tersebut tidak dilakukan
secara sembarangan, namun berdasarkan perkembangan tingkat kematangan fisik dan
psikis manusia.
III. Kewajiban Negara dalam Mengurus
Kepentingan Bersama Perlindungan Hak Anak di Indonesia
Ketika
Negara Indonesia belum terbentuk, rakyat mengurus kepentingan perorangannya
sendiri-sendiri.[5]
Kemudian, rakyat bersatu menjadi bangsa yang selanjutnya membentuk negara untuk
mengurus kepentingan bersamanya. Anak merupakan tunas harapan bangsa. Menurut
Arif Gosita, jika bangsa Indonesia ingin berhasil melakukan pembangunan
nasional, maka merupakan keharusan untuk memperhatikan dan menanggulangi
masalah perlindungan anak secara bersama-sama.[6]
Atas dasar itu, perlindungan anak sebagai aset bangsa menjadi kepentingan
bersama yang diurus oleh negara.
Hal
ini sejalan dengan kemerdekaan Indonesia yang oleh Ir. Soekarno dipandang
sebagai bagian dari revolusi kemanusiaan.[7] Revolusi
kemanusiaan ini dipatri dalam sila kedua Pancasila. Mohammad Hatta memandang
sila kedua ini memiliki konsekuensi sebagai pedoman negara untuk memuliakan
nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi manusia dengan menjalankan fungsi
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[8] Sebagai
upaya mewujudkan kondisi tersebut, para pendiri Republik Indonesia menghadirkan
Negara Indonesia dengan wujud negara pengurus (welfare state). Dalam hal ini, negara berperan aktif dalam melindungi
hak-hak anak Indonesia. Untuk itu, hak anak dijamin dalam Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
IV.
Realitas Perkawinan Anak
dan Dampaknya
Lebih
dari 700 juta perempuan di dunia menikah ketika masih anak-anak. Satu dari tiga
di antaranya menikah sebelum usia 15 tahun.[9] Di
Indonesia, setiap tahunnya sekitar 340.000 anak perempuan menikah sebelum
mencapai usia 18 tahun.[10] Peningkatan
prevalensi perkawinan anak terjadi pada anak perempuan usia 16 - 18 tahun.[11]
Perkawinan
anak menimbulkan dampak negatif bagi anak perempuan, anaknya kelak, dan
masyarakat. Bagi anak perempuan, perkawinan akan menyebabkan kehamilan dan
persalinan dini yang berisiko tinggi terhadap kesehatan karena fisiknya belum matang
untuk melahirkan.[12] Jika
ia hamil, maka akan terjadi persaingan antara janin yang dikandung dengan dia
sendiri dalam memperebutkan nutrisi dan oksigen. Dalam perebutan tersebut, maka
salah satu atau dua-duanya akan kalah.[13] Dampaknya,
jumlah kematian ibu dan anak di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran
(Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2012). Perkawinan anak juga berpotensi menghambat anak
perempuan untuk melanjutkan pendidikan. 85 % anak perempuan di Indonesia
mengakhiri pendidikan mereka setelah menikah.[14]
Bagi
anaknya kelak, terdapat risiko kematian dua kali lebih besar sebelum berusia
satu tahun.[15]
Anak tersebut juga lebih berpotensi untuk lahir prematur dan kurang gizi.[16]
Bagi masyarakat, perkawinan anak dapat melanggengkan siklus kemiskinan,
rendahnya tingkat pendidikan, dan kualitas kesehatan yang buruk. Hal ini akan
menghambat pembangunan nasional.
V.
Hambatan-hambatan
Penghapusan Perkawinan Anak di Indonesia
Perkawinan
anak tidak serta merta dilaksanakan atas keinginan anak itu sendiri. Beragam
faktor menjadi alasan perkawinan anak. Faktor pertama ialah maraknya pandangan
yang memberikan peran perempuan sebatas sebagai istri dan ibu. Perempuan
dianggap lebih baik dinikahkan pada usia muda dan tidak diharuskan untuk mengakses
pendidikan secara optimal. Faktor kedua ialah kemiskinan. Orang tua menikahkan
anak perempuannya karena mereka percaya bahwa perkawinan anak merupakan cara
terbaik bagi anak dan keluarga untuk membantu ekonomi keluarga. Kedua faktor
ini didukung dengan ketidakpahaman akan dampak-dampak negatif dari perkawinan
anak, serta justifikasi oleh nilai agama dan budaya yang mereka yakini.
Faktor-faktor tersebut menjadi hambatan upaya menghapus perkawinan anak di
Indonesia. Terlebih, perkawinan bagi anak perempuan diizinkan oleh negara
melalui Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
Pasal
tersebut jelas menghambat upaya perlindungan anak yang terdapat di peraturan
perundang-undangan lainnya. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan tidak sejalan dengan upaya-upaya perlindungan anak yang terdapat
pada Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua
untuk mencegah perkawinan anak, kemudian bertentangan dengan perlindungan hak
asasi anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang melindungi anak sampai usia 18 tahun, bertentangan pula
dengan batas usia anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, serta bertentangan dengan Pasal 131 ayat (2)
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa upaya
pemeliharaan kesehatan anak dilakukan hingga anak berusia 18 tahun. Selain itu,
perkawinan anak juga berpotensi menghambat program wajib belajar 12 tahun yang
telah dimulai sejak bulan Juni tahun 2015.[17]
VI.
Angan dan Langkah
Strategis
Negara
perlu berperan aktif untuk menutup ruang perkawinan anak. Langkah utama yang
harus dilakukan ialah merubah norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang bersifat
diskriminatif dan kontradiktif dengan upaya perlindungan hak-hak anak. Dalam
hal ini, negara perlu menaikkan batas usia perkawinan perempuan sama dengan
batas usia bagi laki-laki. Kemudian, mengingat besarnya dampak negatif yang
ditimbulkan dari perkawinan anak, diperlukan pula peraturan mengenai pemberian
sanksi bagi siapapun yang memaksa anak untuk melaksanakan perkawinan. Sebagai
contoh, Pemerintah Kamerun memberikan sanksi pidana berupa penjara dan denda
bagi setiap orang yang memaksanakan pelaksanaan perkawinan.[18] Dalam
hal ini, hukum berperan sebagai alat atau sarana negara untuk mengoptimalkan
upaya perlindungan hak-hak anak dengan mencegah perkawinan anak.
Kemudian,
pemerintah wajib menyosialisasikan alasan perubahan norma tersebut ke
masyarakat. Harapannya masyarakat sadar dan memahami dampak buruk perkawinan
anak. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk program-program khusus bagi
orang tua. Sebagai contoh, Pemerintah China melaksanakan “Sekolah untuk
Orangtua” demi mendukung peraturan pemerintah setempat yang mewajibkan setiap
keluarga hanya memiliki satu anak.
Pemerintah
dapat menggandeng pihak-pihak di luar pemerintah untuk mendukung program
tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Kamerun menggandeng United Nations
Population Fund (UNFPA) untuk mendukung upaya menghapus perkawinan anak di
Kamerun. UNFPA ialah suatu badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang memperjuangkan
setiap kehamilan yang diinginkan, persalinan aman, serta pemenuhan hak anak. Kemudian,
UNFPA membangun kerjasama dengan organisasi-organisasi lokal demi
mengoptimalkan upaya penghapusan perkawinan anak.
Terakhir,
negara perlu memberikan perhatian khusus bagi anak yang terlanjur melaksanakan
perkawinan. Perhatian khusus tersebut berupa akses untuk mendapat pelayanan
kesehatan seksual dan reproduksi, serta kemudahan untuk mengakses pendidikan. Upaya
ini penting demi memenuhi hak-hak anak yang terlanjur melaksanakan perkawinan.
VII.
Penutup
Pasal
7 ayat (1) UU Perkawinan telah membuka ruang perkawinan bagi anak perempuan di
Indonesia. Hal ini berdampak negatif bagi hak-hak anak perempuan, hak-hak anaknya
kelak, dan masyarakat. Kondisi ini bertentangan dengan upaya negara dalam
melindungi hak-hak anak. Padahal, terdapat kepentingan bersama mewujudkan
generasi muda berkualitas untuk melanjutkan dan memperkuat eksistensi kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia. Atas dasar itu, negara perlu berupaya keras
dalam menutup ruang perkawinan anak di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Centre
for Reproductive Rights, Accountability
for Child Marriage: Key U.N. Recommendations to Goverments in South Asia on
Reproductive Health and Sexual Violence (fact sheet). New York: CFRR, 2013.
Evenhuis,
Mark dan Jennifer Burn, Just Married,
Just a Child: Child Marriage in the Indo-Pacific Region. n.p.: Plan
International, 2014.
Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak. Depok: Badan
Penerbit FHUI, 2004.
Jain, Saranga dan
Kathleen Kurz, New Insights on Preventing
Child Marriage. n.p.: United States Agency for International Development,
2007.
Naim, Akhsan, dkk., Profil Anak Indonesia 2015. Jakarta: Kementeriaan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015.
Marlina dan Widati
Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” dalam Hukum Perempuan dan Anak. n.p.: USAID dan The Asia Foundation, n.t.
Priambodo, Bono Budi,
“Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” dalam Buku
Hukum Administrasi Negara Sektoral. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2016.
Subdirektorat Statistik
Rumah Tangga BPS, Kemajuan yang Tertunda:
Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat
Statistik, 2015.
United Nations
Children’s Fund, Ending Child Marriage:
Progress and Prospects. New York: UNICEF, 2014.
[1] Akhsan Naim, dkk., Profil Anak Indonesia 2015, (Jakarta:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015), hlm. 2.
[2] Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, “Rincian Data Kasus Berdasarkan Kluster Perlindungan Anak,
2011-2016,” http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016, diakses tanggal 18
November 2016.
[3] Subdirektorat Statistik
Rumah Tangga BPS, Kemajuan yang Tertunda:
Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, (Jakarta: Badan Pusat
Statistik, 2015), hlm. 11-13.
[4] Marlina dan Widati
Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” dalam Hukum Perempuan dan Anak, (n.p.: USAID dan The Asia Foundation, n.t.), hlm. 458.
[5] Bono Budi Priambodo,
“Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” dalam Buku
Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2016), hlm. 153.
[6] Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Depok: Badan
Penerbit FHUI, 2004), hlm. 12.
[7] Yudi Latief, Op.Cit., hlm. 237-238.
[8] Ibid., hlm. 241.
[9] United Nations Children’s
Fund, Ending Child Marriage: Progress and
Prospects, (New York: UNICEF, 2014), hlm. 1.
[10] Subdirektorat Statistik
Rumah Tangga BPS, Op.Cit., hlm. 2.
[11] Ibid., hlm. 29.
[12] Centre for Reproductive
Rights, Accountability for Child
Marriage: Key U.N. Recommendations to Goverments in South Asia on Reproductive
Health and Sexual Violence (fact sheet), (New York: CFRR, 2013), hlm. 4.
[13] Kartono Muhammad dalam
Keterangan yang diberikan sebagai Ahli pada sidang Perkara Nomor
30/PUU-XII/2014 di Mahkamah Konstitusi.
[14] Mark Evenhuis dan Jennifer
Burn, Just Married, Just a Child: Child
Marriage in the Indo-Pacific Region, (n.p.:
Plan International, 2014), hlm. 25.
[15] Subdirektorat Statistik
Rumah Tangga BPS, Op.Cit., hlm. 13
[16] Saranga Jain dan Kathleen
Kurz, New Insights on Preventing Child
Marriage, (n.p.: United States
Agency for International Development, 2007), hlm. 8.
[17] Bayu Galih, “Puan
Maharani: Wajib Belajar 12 Tahun Dimulai Juni 2015,” http://edukasi.kompas.com/read/2015/01/13/01183401/Puan.Maharani.Wajib.Belajar.12.Tahun.Dimulai.Juni.2015, diakses tanggal 26
November 2016.
[18] Maroua dan Yaounde, “New
Rules to Help End Child Marriage in Cameroon,” http://www.unfpa.org/news/new-rules-help-end-child-marriage-cameroon, diakses tanggal 27
November 2016.