Selasa, 25 Juli 2017

EFEKTIVITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK ANAK DI INDONESIA: MEMBANGUN KESADARAN NEGARA UNTUK MENUTUP RUANG PERKAWINAN ANAK

I.                    Pendahuluan  
             Terpujilah inisiatif untuk membahas topik menyangkut nasib si buah hati yang pada masa ini belum bermakna apa-apa, tetapi di masa depan dialah yang mengukir sejarah Indonesia. Si buah hati ini dalam bahasa formalnya disebut anak. Anak merupakan tunas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Atas dasar itu, diperlukan perwujudan anak sebagai generasi muda berkualitas untuk memperkuat daya saing bangsa.
            Hasil proyeksi sensus penduduk tahun 2010, pada tahun 2014 penduduk Indonesia mencapai 252,2 juta jiwa. Sekitar 82,85 juta jiwa (32,9 %) di antaranya adalah anak-anak.[1] Data tersebut menggambarkan bahwa investasi untuk anak adalah investasi untuk sepertiga penduduk Indonesia. Mengingat bahwa anak merupakan masa depan bangsa, maka muncul kepentingan bersama bangsa Indonesia untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mendapatkan perlindungan dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi. Sebagai alat kekuasaan rakyat dan petugas bangsa, maka negara berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama tersebut.
         71 tahun Indonesia merdeka, pencapaian atas pemenuhan atau perlindungan hak-hak anak masih jauh dari ideal. Dalam kurun waktu tahun 2011-2016 jumlah pelanggaran hak anak mencapai 22.109 kasus.[2] Padahal, hak anak telah dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Tingginya jumlah kasus pelanggaran hak anak menunjukkan ada permasalahan dalam upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
            Salah satu akar permasalahan ialah abainya negara melindungi hak anak dengan mengizinkan anak perempuan melaksanakan perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan “perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan ini bersifat diskriminatif dan kontradiktif dengan berbagai peraturan yang melindungi hak-hak anak.
        Persoalan semakin pelik ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 30-74/PUU-XII/2004 tertanggal 18 Juni 2015 yang menolak permohonan judicial review Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terhadap UUD 1945. Putusan tersebut memperkokoh pengabaian negara untuk melindungi hak-hak anak perempuan. Padahal, perkawinan anak memiliki dampak negatif, seperti kehamilan atau melahirkan dini yang berbahaya bagi kesehatan, melahirkan bayi yang kurang gizi, gangguan kesehatan seksual dan reproduksi, berbagai gangguan psikologis, serta putus sekolah.[3]
II.                 Konsep dan Definisi Anak dalam Kajian Ilmu Hukum
       Hukum membedakan kedudukan anak dan orang dewasa. Pembedaan ini merujuk pada kecakapan seorang manusia dalam bertindak. Perbedaan ini berdampak pula pada pengaturan hak dan kewajiban yang diemban oleh anak, orang tua, masyarakat, dan negara.[4]
            Pasal 1 Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak menyebutkan bahwa “anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Senada dengan konvensi tersebut, pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Penentuan batas usia anak tersebut tidak dilakukan secara sembarangan, namun berdasarkan perkembangan tingkat kematangan fisik dan psikis manusia.
III.       Kewajiban Negara dalam Mengurus Kepentingan Bersama Perlindungan Hak Anak di Indonesia
Ketika Negara Indonesia belum terbentuk, rakyat mengurus kepentingan perorangannya sendiri-sendiri.[5] Kemudian, rakyat bersatu menjadi bangsa yang selanjutnya membentuk negara untuk mengurus kepentingan bersamanya. Anak merupakan tunas harapan bangsa. Menurut Arif Gosita, jika bangsa Indonesia ingin berhasil melakukan pembangunan nasional, maka merupakan keharusan untuk memperhatikan dan menanggulangi masalah perlindungan anak secara bersama-sama.[6] Atas dasar itu, perlindungan anak sebagai aset bangsa menjadi kepentingan bersama yang diurus oleh negara.
Hal ini sejalan dengan kemerdekaan Indonesia yang oleh Ir. Soekarno dipandang sebagai bagian dari revolusi kemanusiaan.[7] Revolusi kemanusiaan ini dipatri dalam sila kedua Pancasila. Mohammad Hatta memandang sila kedua ini memiliki konsekuensi sebagai pedoman negara untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi manusia dengan menjalankan fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[8] Sebagai upaya mewujudkan kondisi tersebut, para pendiri Republik Indonesia menghadirkan Negara Indonesia dengan wujud negara pengurus (welfare state). Dalam hal ini, negara berperan aktif dalam melindungi hak-hak anak Indonesia. Untuk itu, hak anak dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.   
IV.             Realitas Perkawinan Anak dan Dampaknya
Lebih dari 700 juta perempuan di dunia menikah ketika masih anak-anak. Satu dari tiga di antaranya menikah sebelum usia 15 tahun.[9] Di Indonesia, setiap tahunnya sekitar 340.000 anak perempuan menikah sebelum mencapai usia 18 tahun.[10] Peningkatan prevalensi perkawinan anak terjadi pada anak perempuan usia 16 - 18 tahun.[11]
Perkawinan anak menimbulkan dampak negatif bagi anak perempuan, anaknya kelak, dan masyarakat. Bagi anak perempuan, perkawinan akan menyebabkan kehamilan dan persalinan dini yang berisiko tinggi terhadap kesehatan karena fisiknya belum matang untuk melahirkan.[12] Jika ia hamil, maka akan terjadi persaingan antara janin yang dikandung dengan dia sendiri dalam memperebutkan nutrisi dan oksigen. Dalam perebutan tersebut, maka salah satu atau dua-duanya akan kalah.[13] Dampaknya, jumlah kematian ibu dan anak di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2012).  Perkawinan anak juga berpotensi menghambat anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan. 85 % anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah menikah.[14]
Bagi anaknya kelak, terdapat risiko kematian dua kali lebih besar sebelum berusia satu tahun.[15] Anak tersebut juga lebih berpotensi untuk lahir prematur dan kurang gizi.[16] Bagi masyarakat, perkawinan anak dapat melanggengkan siklus kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan kualitas kesehatan yang buruk. Hal ini akan menghambat pembangunan nasional.
V.                Hambatan-hambatan Penghapusan Perkawinan Anak di Indonesia
 Perkawinan anak tidak serta merta dilaksanakan atas keinginan anak itu sendiri. Beragam faktor menjadi alasan perkawinan anak. Faktor pertama ialah maraknya pandangan yang memberikan peran perempuan sebatas sebagai istri dan ibu. Perempuan dianggap lebih baik dinikahkan pada usia muda dan tidak diharuskan untuk mengakses pendidikan secara optimal. Faktor kedua ialah kemiskinan. Orang tua menikahkan anak perempuannya karena mereka percaya bahwa perkawinan anak merupakan cara terbaik bagi anak dan keluarga untuk membantu ekonomi keluarga. Kedua faktor ini didukung dengan ketidakpahaman akan dampak-dampak negatif dari perkawinan anak, serta justifikasi oleh nilai agama dan budaya yang mereka yakini. Faktor-faktor tersebut menjadi hambatan upaya menghapus perkawinan anak di Indonesia. Terlebih, perkawinan bagi anak perempuan diizinkan oleh negara melalui Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
Pasal tersebut jelas menghambat upaya perlindungan anak yang terdapat di peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tidak sejalan dengan upaya-upaya perlindungan anak yang terdapat pada Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua untuk mencegah perkawinan anak, kemudian bertentangan dengan perlindungan hak asasi anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melindungi anak sampai usia 18 tahun, bertentangan pula dengan batas usia anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, serta bertentangan dengan Pasal 131 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan hingga anak berusia 18 tahun. Selain itu, perkawinan anak juga berpotensi menghambat program wajib belajar 12 tahun yang telah dimulai sejak bulan Juni tahun 2015.[17]
VI.             Angan dan Langkah Strategis
 Negara perlu berperan aktif untuk menutup ruang perkawinan anak. Langkah utama yang harus dilakukan ialah merubah norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang bersifat diskriminatif dan kontradiktif dengan upaya perlindungan hak-hak anak. Dalam hal ini, negara perlu menaikkan batas usia perkawinan perempuan sama dengan batas usia bagi laki-laki. Kemudian, mengingat besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari perkawinan anak, diperlukan pula peraturan mengenai pemberian sanksi bagi siapapun yang memaksa anak untuk melaksanakan perkawinan. Sebagai contoh, Pemerintah Kamerun memberikan sanksi pidana berupa penjara dan denda bagi setiap orang yang memaksanakan pelaksanaan perkawinan.[18] Dalam hal ini, hukum berperan sebagai alat atau sarana negara untuk mengoptimalkan upaya perlindungan hak-hak anak dengan mencegah perkawinan anak.
Kemudian, pemerintah wajib menyosialisasikan alasan perubahan norma tersebut ke masyarakat. Harapannya masyarakat sadar dan memahami dampak buruk perkawinan anak. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk program-program khusus bagi orang tua. Sebagai contoh, Pemerintah China melaksanakan “Sekolah untuk Orangtua” demi mendukung peraturan pemerintah setempat yang mewajibkan setiap keluarga hanya memiliki satu anak.
Pemerintah dapat menggandeng pihak-pihak di luar pemerintah untuk mendukung program tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Kamerun menggandeng United Nations Population Fund (UNFPA) untuk mendukung upaya menghapus perkawinan anak di Kamerun. UNFPA ialah suatu badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang memperjuangkan setiap kehamilan yang diinginkan, persalinan aman, serta pemenuhan hak anak. Kemudian, UNFPA membangun kerjasama dengan organisasi-organisasi lokal demi mengoptimalkan upaya penghapusan perkawinan anak.
Terakhir, negara perlu memberikan perhatian khusus bagi anak yang terlanjur melaksanakan perkawinan. Perhatian khusus tersebut berupa akses untuk mendapat pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, serta kemudahan untuk mengakses pendidikan. Upaya ini penting demi memenuhi hak-hak anak yang terlanjur melaksanakan perkawinan.
VII.           Penutup
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah membuka ruang perkawinan bagi anak perempuan di Indonesia. Hal ini berdampak negatif bagi hak-hak anak perempuan, hak-hak anaknya kelak, dan masyarakat. Kondisi ini bertentangan dengan upaya negara dalam melindungi hak-hak anak. Padahal, terdapat kepentingan bersama mewujudkan generasi muda berkualitas untuk melanjutkan dan memperkuat eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Atas dasar itu, negara perlu berupaya keras dalam menutup ruang perkawinan anak di Indonesia.









DAFTAR PUSTAKA
Centre for Reproductive Rights, Accountability for Child Marriage: Key U.N. Recommendations to Goverments in South Asia on Reproductive Health and Sexual Violence (fact sheet). New York: CFRR, 2013.
Evenhuis, Mark dan Jennifer Burn, Just Married, Just a Child: Child Marriage in the Indo-Pacific Region. n.p.: Plan International, 2014.
Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2004.
Jain, Saranga dan Kathleen Kurz, New Insights on Preventing Child Marriage. n.p.: United States Agency for International Development, 2007.
Naim,    Akhsan, dkk., Profil Anak Indonesia 2015. Jakarta: Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015.
Marlina dan Widati Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” dalam Hukum Perempuan dan Anak. n.p.: USAID dan The Asia Foundation, n.t.
Priambodo, Bono Budi, “Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” dalam Buku Hukum Administrasi Negara Sektoral. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016.
Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015.
United Nations Children’s Fund, Ending Child Marriage: Progress and Prospects. New York: UNICEF, 2014.


[1] Akhsan Naim, dkk., Profil Anak Indonesia 2015, (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015), hlm. 2.
[2] Komisi Perlindungan Anak Indonesia, “Rincian Data Kasus Berdasarkan Kluster Perlindungan Anak, 2011-2016,” http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016, diakses tanggal 18 November 2016.
[3] Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 11-13.
[4] Marlina dan Widati Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” dalam Hukum Perempuan dan Anak, (n.p.: USAID dan The Asia Foundation, n.t.), hlm. 458.
[5] Bono Budi Priambodo, “Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” dalam Buku Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 153.
[6] Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Depok: Badan Penerbit FHUI, 2004), hlm. 12.
[7] Yudi Latief, Op.Cit., hlm. 237-238.
[8] Ibid., hlm. 241.
[9] United Nations Children’s Fund, Ending Child Marriage: Progress and Prospects, (New York: UNICEF, 2014), hlm. 1.
[10] Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Op.Cit., hlm. 2.
[11] Ibid., hlm. 29.
[12] Centre for Reproductive Rights, Accountability for Child Marriage: Key U.N. Recommendations to Goverments in South Asia on Reproductive Health and Sexual Violence (fact sheet), (New York: CFRR, 2013), hlm. 4.
[13] Kartono Muhammad dalam Keterangan yang diberikan sebagai Ahli pada sidang Perkara Nomor 30/PUU-XII/2014 di Mahkamah Konstitusi.
[14] Mark Evenhuis dan Jennifer Burn, Just Married, Just a Child: Child Marriage in the Indo-Pacific Region, (n.p.: Plan International, 2014), hlm. 25.
[15] Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Op.Cit., hlm. 13
[16] Saranga Jain dan Kathleen Kurz, New Insights on Preventing Child Marriage, (n.p.: United States Agency for International Development, 2007), hlm. 8.
[17] Bayu Galih, “Puan Maharani: Wajib Belajar 12 Tahun Dimulai Juni 2015,” http://edukasi.kompas.com/read/2015/01/13/01183401/Puan.Maharani.Wajib.Belajar.12.Tahun.Dimulai.Juni.2015, diakses tanggal 26 November 2016.
[18] Maroua dan Yaounde, “New Rules to Help End Child Marriage in Cameroon,” http://www.unfpa.org/news/new-rules-help-end-child-marriage-cameroon, diakses tanggal 27 November 2016.

Sabtu, 31 Oktober 2015

Penataan Perilaku Konsumen


Penataan Perilaku Konsumen: Optimalisasi Perilaku Konsumen dalam Meningkatkan Kesejahteraan Generasi Saat Ini dan Akan Datang

Fadhil Muhammad Indrapraja[1]

“Seringkali kita berpikir semu, memandang semu, bahkan bertingkah semu.
Menganggap kita telah jauh melangkah, padahal hanya diam di tempat.
Tidak bahagia dan hanyut oleh waktu.”

         Lahir dan besar di Provinsi Riau membuat saya akrab dengan panorama perkebunan kelapa sawit. Sejak industri kelapa sawit mulai berkembang, kelapa sawit menjadi salah satu lokomotif perekonomian Provinsi Riau. Provinsi Riau merupakan daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 2,4 juta hektar. Luas perkebunan tersebut didukung dengan 270 pabrik kelapa sawit.[2] Hal tersebut berkontribusi mengantarkan Indonesia menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Suatu hal yang membanggakan, bukan?
Kelapa sawit memiliki peran strategis dalam meningkatkan pembangunan ekonomi nasional. Perkebunan yang begitu luas dan hasil produksi minyak kelapa sawit yang begitu besar, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekonomi rakyat. Kelapa sawit menjadi komoditas yang sangat menarik karena memiliki kualitas unggul. Minyak kelapa sawit dapat diaplikasikan dalam berbagai produk pangan maupun non pangan, seperti minyak goreng, margarin, es krim,  sabun, sampo, dan lain sebagainya.
Di tengah kemegahan tersebut, pengembangan industri kelapa sawit mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan. Pengembangan kelapa sawit menjadi faktor utama deforestasi. Termasuk deforestasi di kawasan hutan konservasi, lahan gambut, hutan primer, dan kawasan dengan populasi satwa-satwa langka yang dilindungi.[3]
Provinsi Riau sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, tentu mengalami dampak paling hebat. Pada tahun 1985, tutupan hutan di Riau sekitar 7 juta hektar. Namun, pada tahun 2011, lebih dari dua pertiganya telah dibuka.[4] Bahkan, deforestasi di Provinsi Riau juga terjadi di lahan gambut yang digunakan untuk pengembangan kelapa sawit. Padahal, lahan gambut tidak cocok untuk tanaman kering, seperti kelapa sawit. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana.
Sejak beberapa bulan terakhir, muncul bencana kabut asap di Provinsi Riau. Tidak hanya terjadi di Provinsi Riau bencana kabut asap juga melanda Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Provinsi-provinsi tersebut merupakan daerah sekitar khatulistiwa yang iklimnya cocok untuk kelapa sawit.[5] Dampak dari kabut asap begitu luar biasa, kerugian ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah. Miris bukan? Hal ini menunjukkan  bahwa kemegahan atas pemanfaatan lingkungan untuk pengembangan kelapa sawit hanyalah kemegahan semu. Kebanggaan atas pencapaian sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia sirna seketika.
Baru-baru ini, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan pemerintah sedang membahas upaya restorasi lahan gambut dengan biaya yang bisa mencapai puluhan triliun rupiah.[6] Pertanyaannya, uang siapa yang akan digunakan untuk membiayai restorasi tersebut? Tentu uang kita, rakyat Indonesia. Biaya tersebut merupakan biaya sosial yang dipikul secara bersama oleh rakyat Indonesia.
Haruskah kita meninggalkan industri kelapa sawit? Tidak. Industri kelapa sawit merupakan sektor andalan perekonomian Indonesia. Terdapat kepentingan negara, rakyat dan pelaku usaha yang harus dipertahankan karena manfaat yang diberikan. Oleh karena itu, solusinya ialah penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri kelapa sawit (sustainable palm oil). Prinsip pembangunan berkelanjutan ialah prinsip pemanfaatan lingkungan dengan menjaga kualitas lingkungan, agar dapat dinikmati oleh generasi saat ini dan generasi akan datang secara seimbang.
Dalam penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan di industri kelapa sawit, tiap-tiap individu memegang peranan penting dalam kedudukannya sebagai konsumen. Terlebih, sebagai negara dengan populasi penduduk yang sangat tinggi, perilaku konsumen Indonesia sangat mempengaruhi pasar. Berdasarkan pemikiran dari Angus Deaton (peraih nobel ekonomi tahun 2015) diketahui bahwa konsumsi barang atau jasa memiliki pengaruh yang fundamental terhadap kesejahteraan manusia.[7] Atas dasar itu, diperlukan penataan perilaku konsumen.
Dalam konteks pengembangan sustainable palm oil, perilaku konsumen yang bijak dapat dilakukan dengan mengkonsumsi produk kelapa sawit yang diproduksi sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini diyakini dapat menekan pelaku usaha untuk mengelola industri kelapa sawit dengan bijak. Hal ini juga dapat menghindarkan kerusakan lingkungan dan kegagalan pasar (market failure) akibat eksternalitas biaya. Eksternalitas tersebut dibuktikan dengan harga suatu produk yang tidak mencerminkan biaya-biaya lingkungan.[8] Para ekonom percaya bahwa jika biaya eksternal ini secara total dipertimbangkan oleh individu, maka individu tersebut akan bertindak optimal untuk mencegah terjadinya kegagalan pasar dan bergerak ke arah yang optimal (sustainable palm oil).[9]
Penataan perilaku konsumen bukanlah hal yang mudah. Kedudukan konsumen relatif lebih rendah daripada produsen. Selain itu, mayoritas tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan masyarakat yang belum sejahtera, akan menghambat penataan perilaku konsumen. Konsumen akan cenderung memilih produk yang murah dan mudah didapatkan. Art Markman memberikan formula untuk mengubah perilaku seseorang (termasuk konsumen), dengan menerapkan pemetaan yang konsisten (consistent mapping) dan pengulangan (repetition).[10] Pemetaan yang konsisten bermakna perilaku yang ingin dicapai harus terasosiasi dengan kondisi-kondisi sekitar konsumen (eksternal). Hal ini bertujuan untuk memaksa dan mempermudah perubahan perilaku konsumen. Kemudian, perilaku tersebut wajib dilakukan secara konsisten, sehingga menimbulkan suatu kebiasaan baru.
Penataan perilaku konsumen sekedar dengan memberikan edukasi kepada konsumen tidak efektif dan efisien untuk merubah perilaku konsumen. Indonesia dituntut melakukan penataan perilaku konsumen secara efektif dan efisien, agar terhindar dari degradasi kualitas lingkungan yang semakin parah.
Atas dasar itu, berdasarkan formula yang diberikan Art Markman, diperlukan kondisi-kondisi eksternal yang dapat menekan dan mempermudah perubahan perilaku konsumen. Pemerintah memegang peranan penting. Tidak hanya sekedar memberikan edukasi terhadap konsumen, pemerintah wajib menciptakan kondisi-kondisi eksternal yang memudahkan akses konsumen memperoleh produk yang diproses dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kondisi eksternal tersebut dapat diwujudkan dengan menerapkan peraturan yang dapat menekan pelaku usaha untuk memproduksi atau menjual produk dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Misalnya, peraturan yang memberikan standar atau sertifikasi industri kelapa sawit. Sejak tahun 2011, pemerintah telah memiliki program Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan program sertifikasi pengembangan kelapa sawit.[11] Sebelum itu,  telah dikenal asosiasi non pemerintah yang bersifat non profit dan sukarela dalam sertifikasi pengembangan kelapa sawit, yakni Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).  Adanya program sertifikasi tersebut perlu disambut positif dan dioptimalkan pelaksanannya.
Selain itu, diperlukan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menyertakan informasi terkait rantai produksi. Misalnya, mewajibkan penyertaan informasi di tiap kemasan produk (eco-labeling atau sertifikasi) yang memberikan informasi kepada konsumen tentang dampak lingkungan dari suatu produk. Saat ini penyediaan informasi tersebut masih bersifat sukarela.[12]
Pengaturan tersebut bertujuan untuk memaksa dan mempermudah calon pencemar (produsen ataupun konsumen) untuk mempertimbangkan setiap keputusannya. Selanjutnya, hal yang musti dilakukan ialah pengawasan dan penegakkan peraturan secara berkala, responsif, dan tegas. Harapannya timbul kebiasaan masyarakat yang menggeser perilaku konsumen ke arah penataan yang berorientasi terhadap pencapaian kesejahteraan generasi saat ini dan akan datang. Ditambah dengan tekad dari diri konsumen sendiri, maka kelapa sawit akan terus menjadi lokomotif pembangunan nasional.




[1] Penulis merupakan mahasiswa aktif semester 5 Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[2] Dinas Pendapatan Provinsi Riau, “Jika Bea Keluar CPO Bisa Disalurkan ke Daerah Penghasil Sawit, Riau Bisa Dapat Jatah 6 Triliun” www.riau.go.id, diakses tanggal 30 Oktober 2015.
[3] Irwan Gunawan, “Sertifikasi Kelapa Sawit Sebagai Instrumen Daya Saing Ekonomi” www.wwf.or.id, diakses tanggal 30 Oktober 2015.
[4] Greenpeace, Bagaimana Deforestasi dari Perkebunan Kelapa Sawit Mendorong Harimau Sumatra Menuju Kepunahan: Izin Memusnahkan, (Amsterdam: Greenpeace International, 2013), hlm. 13.
[5] Emil Salim, “Kebakaran Hutan: Ini Pelajaran yang Pahit Sekali” Kompas, (26 Oktober 2015), hlm. 21.
[6] Jusuf Kalla, “Kerusakan Gambut: Restorasi Puluhan Triliun Disiapkan” Kompas, (28 Oktober 2015), hlm. 1.
[7] The Royal Swedish Academy of Sciences, Angus Deaton: Consumption, Poverty, and Welfare, (Stockhholm: The Royal Swedish Academy of Sciences, 2015), hlm. 1.
[8] Andri G. Wibisana, “Penataan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan Penataan Sukarela” (bahan mata kuliah hukum lingkungan Fakultas Hukum UI, Depok, 2015), hlm.
[9] R.K. Turner, D. Pearce, dan I. Bateman, Environmental Economics: an Elementary Introduction, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1994), hlm. 77.
[10] Art Markman, Five Tools to Create New and Sustainable Habits in Yourself and Others: Smart Change, (New York: A Perigee Book, 2014), hlm. 35.
[11] Tahun 2015 diperbarui dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
[12] Andri G. Wibisana, Op. Cit., hlm. 21.

Kamis, 08 Oktober 2015

(Celotehan) Pemanfaatan Lingkungan Hidup


(Celotehan) Pemanfaatan
Lingkungan Hidup
oleh Fadhil M. Indrapraja[1]

“Hanya ada satu tempat dan periode untuk hidup, semua atas karunia tuhan yang maha esa. Tak pantas karena menempatkan uang adalah esa, satu tempat dan periode tersebut direnggut dan tak terpedulikan”

Dalam rangka mencapai taraf hidup yang lebih baik, manusia terus berupaya melakukan pembangunan. Pembangunan merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Setiap pembangunan selalu terkait dengan pemanfaatan lingkungan, paling tidak dalam hal pemanfaatan ruang. Pemanfaatan lingkungan bukanlah hal yang diharamkan, terlebih jika menjadi bagian dari upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks negara Indonesia, kebolehan tersebut tercermin dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, pemanfaatan lingkungan harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan atau yang populer dengan istilah sustainable development.
            Berdasarkan definisi yang diberikan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial, peningkatan kesejahteraan ekonomi, serta kualitas lingkungan hidup yang didukung oleh tata kelola pelaksanaan pembangunan. Dari definisi tersebut, dapat kita pahami bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya keseimbangan kepentingan antara keberlanjutan kehidupan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan kualitas lingkungan hidup. Keseimbangan kepentingan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Merujuk terhadap kebolehan pemanfaatan lingkungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, prinsip pembangunan berkelanjutan mutlak harus diterapkan dalam pemanfaatan lingkungan. Hal ini didasarkan atas kebolehan pemanfaatan lingkungan sebagai upaya mencapai kemakmuran seluruh rakyat. Seluruh rakyat seyogyanya kita maknai sebagai kemakmuran yang juga dirasakan generasi akan datang. Suatu hal yang sampai saat ini masih terlihat semu dan seringkali kita acuhkan.
            Sifat acuh tersebut tercermin dengan munculnya berbagai permasalahan lingkungan. Beberapa bulan terakhir, kita dihadapkan dengan bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini merupakan akibat pola tindak manusia yang memanfaatkan lingkungan secara serakah. Pada dasarnya, lingkungan memiliki kemampuan untuk menjaga keteraturannya, namun akibat kesewenangan tindak manusia, kemampuan tersebut secara perlahan hilang dan menimbulkan bencana. Keserakahan membawa kerugian bagi diri manusia. Manusia berperan sebagai pelaku, sekaligus korban.
Sebagai contoh, bencana kabut asap yang melanda sebagian wilayah provinsi di Kalimantan dan Sumatera telah mengakibatkan kerugian materiil yang ditaksir mencapai puluhan triliun. Bencana kabut asap mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan negara dan aktivitas masyarakat. Tidak kalah pentingnya ialah hilangnya “euforia” dan motivasi masyarakat untuk beraktivitas akibat sesaknya udara yang mereka hirup. Akibat terburuk tentu saja jatuhnya korban jiwa.
Satu hal yang wajib generasi saat ini sadari ialah potensi meningkatnya permasalahan lingkungan di masa akan datang. Kita tinjau dari aspek pertumbuhan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk yang sulit dikontrol (2010-2015, 1,38 %)[2] akan berbanding lurus terhadap meningkatnya kebutuhan pemanfaatan lingkungan hidup. Terlebih, saat ini Indonesia telah memasuki masa bonus demografi, yang mana penduduk usia produktif mendominasi struktur penduduk nasional (67 %)[3]. Tingginya mobilitas penduduk usia produktif, lagi-lagi akan menuntut peningkatan pemanfaatan lingkungan. Apabila tidak disikapi dengan bijak, tentunya kondisi tersebut akan membawa bencana bagi bangsa Indonesia.
Saat ini muncul beragam permasalahan yang cukup rumit dan sulit diatasi. Bagaimana di masa yang akan datang? Tanpa adanya upaya preventif dari pemerintah untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, berbagai permasalahan seperti krisis air bersih, krisis energi, kabut asap, banjir, longsor, dan sebagainya merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi.
            Atas dasar itu, negara dituntut untuk berperan aktif dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Saat ini negara telah melakukan tindakan dengan menghadirkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU tersebut berperan sebagai instrumen hukum dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, setelah kurang lebih enam tahun UU ini disahkan, negara masih abai. Keabaian tersebut akan coba saya uraikan pada tulisan berikutnya.
Dibalik keabaian negara, pada dasarnya masyarakat memiliki kewajiban dan peran penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sulit jika hanya berharap pada negara (pemerintah). Negara tidak mungkin dapat menyelesaikan seluruh permasalahan tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, wilayah yang begitu luas dan akses yang terbatas untuk menjangkau beberapa wilayah tertentu akan mengakibatkan tidak efektifnya pengawasan dan penegakan UU PPLH. Hal ini merupakan akibat keterbatasan kompetensi dan jumlah sumber daya aparatur negara. Salah satu solusinya ialah pendayagunaan kekuatan masyarakat. Bukan berarti kita membiarkan negara untuk acuh, namun masyarakat memiliki potensi dalam hal pengawasan dan pemberian tekanan publik sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang konsisten dan menyeluruh.
Jika hal itu masih cukup sulit, mulailah berproses dari hal sederhana, misalnya dengan sadar dan mengurangi pencemaran lingkungan yang secara individu tiap hari kita lakukan. Akumulasi pencemaran yang tiap hari kita lakukan akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Bagaimana jika batas daya dukung dan daya tampung lingkungan akhirnya terlampaui? Bersiaplah untuk menghadapi bencana.






[1] Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2013
[2] Data dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2015.
[3] Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia masa bonus demografi Indonesia berada pada tahun 2010-2035, dan mencapai puncak pada tahun 2028-2030.

Sabtu, 19 September 2015

Esensi Lingkungan Hidup


Esensi Lingkungan Hidup
oleh Fadhil M. Indrapraja

“Sampailah kita pada suatu masa, ketika manusia seharusnya sadar akan ketidakperhatiannya terhadap lingkungan. Beratus tahun, manusia bersikap acuh. Kemudian, mencoba sedikit (atau berpura-pura) peduli.”

Kita seharusnya tidak lupa bahwa telah beratus tahun, dunia melewati fase revolusi industri (1750 – 1850 m). Revolusi industri mengakibatkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang pada mulanya bersifat tradisional ke arah mekanisasi (industri). Revolusi industri menimbulkan eksploitasi terhadap buruh (pekerja). Positifnya, revolusi industri yang menimbulkan eksploitasi buruh direspon dengan cepat melalui penerapan prinsip-prinsip dan pengaturan yang memberikan perlindungan terhadap buruh. Prinsip dan pengaturan tersebut telah berkembang di beberapa negara Eropa sejak tahun 1802 – 1870 yang kemudian menyebar ke berbagai negara lainnya.[1]
Revolusi industri dapat dipastikan tidak hanya mengakibatkan munculnya eksploitasi terhadap buruh, tetapi juga eksploitasi terhadap lingkungan hidup. Berbeda dengan eksploitasi buruh, respon terhadap eksploitasi lingkungan hidup berlangsung lambat. Bahkan, Prof. Munadjat Danusaputro (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran) menyatakan bahwa hukum yang mengatur mengenai lingkungan merupakan suatu “pendatang baru” dalam “keluarga hukum”.[2] Baru pada tahun 1960-an, dunia menaruh perhatian lebih terhadap masalah lingkungan hidup. Mulai dari munculnya buku karya Rachel Carson yang berjudul The Silent Spring yang mana pada era itu menjadi best seller di Amerika Serikat[3], serta terbentuknya beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society yang menjadi perintis lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia.[4] Kemudian, dunia Internasional semakin menaruh perhatian dan menjadikan lingkungan sebagai isu yang perlu ditanggulangi bersama pada tahun 1972 dengan diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on the Human Environment) di Stockholm, Swedia.
Hal tersebut menunjukkan betapa lambatnya respon manusia akan permasalahan lingkungan. Manusia hanya tergerak secara cepat apabila kepentingannya terancam atau terganggu secara langsung. Memang, sudah takdir dzat yang maha kuasa, lingkungan tidak diberi hak untuk berbicara dan bergejolak secara langsung, lingkungan hanya diberikan hak untuk menunjukkan tanda-tanda ketidaksukaannya.
Dalam ilmu ekologi, manusia adalah satu kesatuan yang terpadu dengan lingkungannya.[5] Kesatuan yang terpadu mengartikan bahwa manusia dan lingkungan  memiliki kedudukan yang sama dan mutlak saling membutuhkan. Meskipun, manusia dan lingkungan memiliki kedudukan yang sama, manusia memiliki peran lebih karena memiliki daya akal. Peran tersebut seyogyanya berfungsi untuk menentukan tata susunan lingkungan, bukan untuk mengasai alam karena seperti apa yang dikatakan oleh Cicero seorang filsuf romawi, alam tidak dapat dikuasai.[6] Jadi, ketika manusia mencoba untuk menguasai lingkungan dan tidak menjaga keseimbangannya, maka lingkungan akan memberikan bencana bagi keteraturan hidup manusia itu sendiri.
InsyaAllah dalam beberapa minggu ke depan saya akan mencoba untuk rutin membahas berbagai isu lingkungan, misalnya terkait legalitas pemanfaatan lingkungan hidup, prinsip pembangunan berkelanjutan, tanggung jawab negara terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan individu, serta berbagai persoalan lainnya. Pantau terus, semoga membuka gerbang diskusi di antara kita :)





[1] Aloysius, Uwiyono, Asas-asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 77.
[2] Danusaputro, Munadjat, Hukum Lingkungan (Buku I: Umum), (Binacipta, 1985), hlm. 207.
[3] Artikel yang berjudul Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan karya Andri Gunawan Wibisana.
[4] Brenton, Tony, The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics, (London: Earthscan, 1994), hlm. 18 -19.
[5] Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 43.
[6] Danusaputro, Munadjat, Op.Ci.t, hlm. 191.

Rabu, 23 April 2014

Lunturnya Sosok Negarawan Pemimpin Indonesia

Lunturnya Sosok Negarawan
Pemimpin Indonesia
Oleh Fadhil Muhammad Indrapraja
            Tulisan ini di-ilhami oleh “pandangan” B.J. Habiebie di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia beberapa waktu lalu. Gejolak pemikiran terhadap topik ini semakin bertambah setelah diskusi singkat bersama sahabat-sahabat FHUI.
Ketika menemukan sosok tersebut merupakan suatu hal yang sulit, maka kitalah yang bertanggungjawab untuk memantaskan diri menjadi sosok negarawan pemimpin bangsa Indonesia.
                Indonesia merupakan negara yang diberi karunia berlimpah oleh Tuhan. Sudah semestinya karunia tersebut menjadi tanggung jawab setiap rakyat Indonesia untuk menjaga dan mengelolanya demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Karunia berlimpah merupakan suatu tantangan. Dahulu, tantangan ini berhasil dilalui oleh para pemimpin penggerak roda bangsa Indonesia.
Sosok penggerak roda bangsa ini adalah sosok negarawan. Mereka membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang merdeka dan diakui oleh Negara lain. Rumusan pedoman bernegara yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar (UUD) berhasil mereka bentuk demi kepentingan seluruh rakyat. Mereka menolak menjual idealisme dengan segelimang materi yang hanya memberi kesenangan dunia dan individu semata. Sebagai seorang pemimpin, mereka menyadari kewajiban dan tanggung jawab untuk berkontribusi secara maksimal memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Tak sedikit diantara mereka yang rela mengorbankan nyawa demi kepentingan seluruh rakyat. Mereka berada di garda terdepan, ya begitulah hakikat pemimpin yang sesungguhnya.
Sosok negarawan tersebut memiliki pemikiran cerdas dalam melihat kondisi bangsa dan negara. Mereka berpandangan jauh kedepan dengan merumuskan pedoman bernegara  tanpa memikirkan kepentingan pribadi atau sekelompok golongan tertentu.. Pada akhirnya, rumusan tersebut diterima oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai nilai luhur yang dicitakan-citakan bersama ditengah keberagaman yang ada.
Sosok mereka adalah pribadi yang mampu membuat bangsa Indonesia memiliki martabat dan jati diri dimata Internasional. Mereka memiliki integritas dan kualitas intelektual yang sangat baik. Tak hanya itu, mereka juga terus meningkatkan kualitas diri agar Indonesia dapat bersaing dengan bangsa asing. Tidak ada kata lelah dalam benak mereka. Perjuangan dan jasa mereka tercatat dengan mulia dalam sejarah kenegaraan bangsa Indonesia.
Saat ini, pemimpin yang muncul sering kali mengecewakan rakyat. Dimulai dari kebijakan yang merugikan rakyat, sampai persoalan etika yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Dalam sebuah sistem kenegaraan (pemerintahan) tentu diperlukan pemimpin yang tangguh, pemimpin yang mampu menciptakan budaya kerja yang baik. Sebuah sistem tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak dipimpin oleh pemimpin yang kompeten dan bermoral.
Sosok pemimpin negarawan semakin sulit dijumpai. Tidak banyak pemimpin yang amanah saat memegang jabatan, semua terbuai oleh harta dan tahta. Mulai detik ini sudah seharusnya kita memberikan  solusi dalam membangun konstruksi kokoh sebuah organisasi Negara. Kemana arah bangsa ini berlayar merupakan tanggung jawab kita bersama.
Mari bersama-sama melakukan introspeksi diri, menyadari kewajiban-kewajiban yang kita miliki dan menjalankannya dengan optimal. Menyadari bahwa hidup adalah merubah hal negatif menjadi hal positif, meningkatkan ilmu pengetahuan serta menjunjung tinggi idealisme untuk mempertahankan eksistensi negara demi mewujudkan sebuah misi suci, yakni terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur bagi seluruh rakyat.
Semoga setiap langkah kita mengantarkan kita menjadi sosok negarawan yang memberikan arti kemerdekaan yang susungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.


                                                                                    Amin Ya Rabbalalamin..