Selasa, 25 Juli 2017

EFEKTIVITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK ANAK DI INDONESIA: MEMBANGUN KESADARAN NEGARA UNTUK MENUTUP RUANG PERKAWINAN ANAK

I.                    Pendahuluan  
             Terpujilah inisiatif untuk membahas topik menyangkut nasib si buah hati yang pada masa ini belum bermakna apa-apa, tetapi di masa depan dialah yang mengukir sejarah Indonesia. Si buah hati ini dalam bahasa formalnya disebut anak. Anak merupakan tunas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Atas dasar itu, diperlukan perwujudan anak sebagai generasi muda berkualitas untuk memperkuat daya saing bangsa.
            Hasil proyeksi sensus penduduk tahun 2010, pada tahun 2014 penduduk Indonesia mencapai 252,2 juta jiwa. Sekitar 82,85 juta jiwa (32,9 %) di antaranya adalah anak-anak.[1] Data tersebut menggambarkan bahwa investasi untuk anak adalah investasi untuk sepertiga penduduk Indonesia. Mengingat bahwa anak merupakan masa depan bangsa, maka muncul kepentingan bersama bangsa Indonesia untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mendapatkan perlindungan dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi. Sebagai alat kekuasaan rakyat dan petugas bangsa, maka negara berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama tersebut.
         71 tahun Indonesia merdeka, pencapaian atas pemenuhan atau perlindungan hak-hak anak masih jauh dari ideal. Dalam kurun waktu tahun 2011-2016 jumlah pelanggaran hak anak mencapai 22.109 kasus.[2] Padahal, hak anak telah dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Tingginya jumlah kasus pelanggaran hak anak menunjukkan ada permasalahan dalam upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
            Salah satu akar permasalahan ialah abainya negara melindungi hak anak dengan mengizinkan anak perempuan melaksanakan perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan “perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan ini bersifat diskriminatif dan kontradiktif dengan berbagai peraturan yang melindungi hak-hak anak.
        Persoalan semakin pelik ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 30-74/PUU-XII/2004 tertanggal 18 Juni 2015 yang menolak permohonan judicial review Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terhadap UUD 1945. Putusan tersebut memperkokoh pengabaian negara untuk melindungi hak-hak anak perempuan. Padahal, perkawinan anak memiliki dampak negatif, seperti kehamilan atau melahirkan dini yang berbahaya bagi kesehatan, melahirkan bayi yang kurang gizi, gangguan kesehatan seksual dan reproduksi, berbagai gangguan psikologis, serta putus sekolah.[3]
II.                 Konsep dan Definisi Anak dalam Kajian Ilmu Hukum
       Hukum membedakan kedudukan anak dan orang dewasa. Pembedaan ini merujuk pada kecakapan seorang manusia dalam bertindak. Perbedaan ini berdampak pula pada pengaturan hak dan kewajiban yang diemban oleh anak, orang tua, masyarakat, dan negara.[4]
            Pasal 1 Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak menyebutkan bahwa “anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Senada dengan konvensi tersebut, pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Penentuan batas usia anak tersebut tidak dilakukan secara sembarangan, namun berdasarkan perkembangan tingkat kematangan fisik dan psikis manusia.
III.       Kewajiban Negara dalam Mengurus Kepentingan Bersama Perlindungan Hak Anak di Indonesia
Ketika Negara Indonesia belum terbentuk, rakyat mengurus kepentingan perorangannya sendiri-sendiri.[5] Kemudian, rakyat bersatu menjadi bangsa yang selanjutnya membentuk negara untuk mengurus kepentingan bersamanya. Anak merupakan tunas harapan bangsa. Menurut Arif Gosita, jika bangsa Indonesia ingin berhasil melakukan pembangunan nasional, maka merupakan keharusan untuk memperhatikan dan menanggulangi masalah perlindungan anak secara bersama-sama.[6] Atas dasar itu, perlindungan anak sebagai aset bangsa menjadi kepentingan bersama yang diurus oleh negara.
Hal ini sejalan dengan kemerdekaan Indonesia yang oleh Ir. Soekarno dipandang sebagai bagian dari revolusi kemanusiaan.[7] Revolusi kemanusiaan ini dipatri dalam sila kedua Pancasila. Mohammad Hatta memandang sila kedua ini memiliki konsekuensi sebagai pedoman negara untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi manusia dengan menjalankan fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[8] Sebagai upaya mewujudkan kondisi tersebut, para pendiri Republik Indonesia menghadirkan Negara Indonesia dengan wujud negara pengurus (welfare state). Dalam hal ini, negara berperan aktif dalam melindungi hak-hak anak Indonesia. Untuk itu, hak anak dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.   
IV.             Realitas Perkawinan Anak dan Dampaknya
Lebih dari 700 juta perempuan di dunia menikah ketika masih anak-anak. Satu dari tiga di antaranya menikah sebelum usia 15 tahun.[9] Di Indonesia, setiap tahunnya sekitar 340.000 anak perempuan menikah sebelum mencapai usia 18 tahun.[10] Peningkatan prevalensi perkawinan anak terjadi pada anak perempuan usia 16 - 18 tahun.[11]
Perkawinan anak menimbulkan dampak negatif bagi anak perempuan, anaknya kelak, dan masyarakat. Bagi anak perempuan, perkawinan akan menyebabkan kehamilan dan persalinan dini yang berisiko tinggi terhadap kesehatan karena fisiknya belum matang untuk melahirkan.[12] Jika ia hamil, maka akan terjadi persaingan antara janin yang dikandung dengan dia sendiri dalam memperebutkan nutrisi dan oksigen. Dalam perebutan tersebut, maka salah satu atau dua-duanya akan kalah.[13] Dampaknya, jumlah kematian ibu dan anak di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2012).  Perkawinan anak juga berpotensi menghambat anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan. 85 % anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah menikah.[14]
Bagi anaknya kelak, terdapat risiko kematian dua kali lebih besar sebelum berusia satu tahun.[15] Anak tersebut juga lebih berpotensi untuk lahir prematur dan kurang gizi.[16] Bagi masyarakat, perkawinan anak dapat melanggengkan siklus kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan kualitas kesehatan yang buruk. Hal ini akan menghambat pembangunan nasional.
V.                Hambatan-hambatan Penghapusan Perkawinan Anak di Indonesia
 Perkawinan anak tidak serta merta dilaksanakan atas keinginan anak itu sendiri. Beragam faktor menjadi alasan perkawinan anak. Faktor pertama ialah maraknya pandangan yang memberikan peran perempuan sebatas sebagai istri dan ibu. Perempuan dianggap lebih baik dinikahkan pada usia muda dan tidak diharuskan untuk mengakses pendidikan secara optimal. Faktor kedua ialah kemiskinan. Orang tua menikahkan anak perempuannya karena mereka percaya bahwa perkawinan anak merupakan cara terbaik bagi anak dan keluarga untuk membantu ekonomi keluarga. Kedua faktor ini didukung dengan ketidakpahaman akan dampak-dampak negatif dari perkawinan anak, serta justifikasi oleh nilai agama dan budaya yang mereka yakini. Faktor-faktor tersebut menjadi hambatan upaya menghapus perkawinan anak di Indonesia. Terlebih, perkawinan bagi anak perempuan diizinkan oleh negara melalui Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
Pasal tersebut jelas menghambat upaya perlindungan anak yang terdapat di peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tidak sejalan dengan upaya-upaya perlindungan anak yang terdapat pada Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua untuk mencegah perkawinan anak, kemudian bertentangan dengan perlindungan hak asasi anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melindungi anak sampai usia 18 tahun, bertentangan pula dengan batas usia anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, serta bertentangan dengan Pasal 131 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan hingga anak berusia 18 tahun. Selain itu, perkawinan anak juga berpotensi menghambat program wajib belajar 12 tahun yang telah dimulai sejak bulan Juni tahun 2015.[17]
VI.             Angan dan Langkah Strategis
 Negara perlu berperan aktif untuk menutup ruang perkawinan anak. Langkah utama yang harus dilakukan ialah merubah norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang bersifat diskriminatif dan kontradiktif dengan upaya perlindungan hak-hak anak. Dalam hal ini, negara perlu menaikkan batas usia perkawinan perempuan sama dengan batas usia bagi laki-laki. Kemudian, mengingat besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari perkawinan anak, diperlukan pula peraturan mengenai pemberian sanksi bagi siapapun yang memaksa anak untuk melaksanakan perkawinan. Sebagai contoh, Pemerintah Kamerun memberikan sanksi pidana berupa penjara dan denda bagi setiap orang yang memaksanakan pelaksanaan perkawinan.[18] Dalam hal ini, hukum berperan sebagai alat atau sarana negara untuk mengoptimalkan upaya perlindungan hak-hak anak dengan mencegah perkawinan anak.
Kemudian, pemerintah wajib menyosialisasikan alasan perubahan norma tersebut ke masyarakat. Harapannya masyarakat sadar dan memahami dampak buruk perkawinan anak. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk program-program khusus bagi orang tua. Sebagai contoh, Pemerintah China melaksanakan “Sekolah untuk Orangtua” demi mendukung peraturan pemerintah setempat yang mewajibkan setiap keluarga hanya memiliki satu anak.
Pemerintah dapat menggandeng pihak-pihak di luar pemerintah untuk mendukung program tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Kamerun menggandeng United Nations Population Fund (UNFPA) untuk mendukung upaya menghapus perkawinan anak di Kamerun. UNFPA ialah suatu badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang memperjuangkan setiap kehamilan yang diinginkan, persalinan aman, serta pemenuhan hak anak. Kemudian, UNFPA membangun kerjasama dengan organisasi-organisasi lokal demi mengoptimalkan upaya penghapusan perkawinan anak.
Terakhir, negara perlu memberikan perhatian khusus bagi anak yang terlanjur melaksanakan perkawinan. Perhatian khusus tersebut berupa akses untuk mendapat pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, serta kemudahan untuk mengakses pendidikan. Upaya ini penting demi memenuhi hak-hak anak yang terlanjur melaksanakan perkawinan.
VII.           Penutup
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan telah membuka ruang perkawinan bagi anak perempuan di Indonesia. Hal ini berdampak negatif bagi hak-hak anak perempuan, hak-hak anaknya kelak, dan masyarakat. Kondisi ini bertentangan dengan upaya negara dalam melindungi hak-hak anak. Padahal, terdapat kepentingan bersama mewujudkan generasi muda berkualitas untuk melanjutkan dan memperkuat eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Atas dasar itu, negara perlu berupaya keras dalam menutup ruang perkawinan anak di Indonesia.









DAFTAR PUSTAKA
Centre for Reproductive Rights, Accountability for Child Marriage: Key U.N. Recommendations to Goverments in South Asia on Reproductive Health and Sexual Violence (fact sheet). New York: CFRR, 2013.
Evenhuis, Mark dan Jennifer Burn, Just Married, Just a Child: Child Marriage in the Indo-Pacific Region. n.p.: Plan International, 2014.
Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2004.
Jain, Saranga dan Kathleen Kurz, New Insights on Preventing Child Marriage. n.p.: United States Agency for International Development, 2007.
Naim,    Akhsan, dkk., Profil Anak Indonesia 2015. Jakarta: Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015.
Marlina dan Widati Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” dalam Hukum Perempuan dan Anak. n.p.: USAID dan The Asia Foundation, n.t.
Priambodo, Bono Budi, “Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” dalam Buku Hukum Administrasi Negara Sektoral. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016.
Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015.
United Nations Children’s Fund, Ending Child Marriage: Progress and Prospects. New York: UNICEF, 2014.


[1] Akhsan Naim, dkk., Profil Anak Indonesia 2015, (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015), hlm. 2.
[2] Komisi Perlindungan Anak Indonesia, “Rincian Data Kasus Berdasarkan Kluster Perlindungan Anak, 2011-2016,” http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016, diakses tanggal 18 November 2016.
[3] Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 11-13.
[4] Marlina dan Widati Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” dalam Hukum Perempuan dan Anak, (n.p.: USAID dan The Asia Foundation, n.t.), hlm. 458.
[5] Bono Budi Priambodo, “Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam” dalam Buku Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 153.
[6] Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Depok: Badan Penerbit FHUI, 2004), hlm. 12.
[7] Yudi Latief, Op.Cit., hlm. 237-238.
[8] Ibid., hlm. 241.
[9] United Nations Children’s Fund, Ending Child Marriage: Progress and Prospects, (New York: UNICEF, 2014), hlm. 1.
[10] Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Op.Cit., hlm. 2.
[11] Ibid., hlm. 29.
[12] Centre for Reproductive Rights, Accountability for Child Marriage: Key U.N. Recommendations to Goverments in South Asia on Reproductive Health and Sexual Violence (fact sheet), (New York: CFRR, 2013), hlm. 4.
[13] Kartono Muhammad dalam Keterangan yang diberikan sebagai Ahli pada sidang Perkara Nomor 30/PUU-XII/2014 di Mahkamah Konstitusi.
[14] Mark Evenhuis dan Jennifer Burn, Just Married, Just a Child: Child Marriage in the Indo-Pacific Region, (n.p.: Plan International, 2014), hlm. 25.
[15] Subdirektorat Statistik Rumah Tangga BPS, Op.Cit., hlm. 13
[16] Saranga Jain dan Kathleen Kurz, New Insights on Preventing Child Marriage, (n.p.: United States Agency for International Development, 2007), hlm. 8.
[17] Bayu Galih, “Puan Maharani: Wajib Belajar 12 Tahun Dimulai Juni 2015,” http://edukasi.kompas.com/read/2015/01/13/01183401/Puan.Maharani.Wajib.Belajar.12.Tahun.Dimulai.Juni.2015, diakses tanggal 26 November 2016.
[18] Maroua dan Yaounde, “New Rules to Help End Child Marriage in Cameroon,” http://www.unfpa.org/news/new-rules-help-end-child-marriage-cameroon, diakses tanggal 27 November 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar