Sabtu, 31 Oktober 2015

Penataan Perilaku Konsumen


Penataan Perilaku Konsumen: Optimalisasi Perilaku Konsumen dalam Meningkatkan Kesejahteraan Generasi Saat Ini dan Akan Datang

Fadhil Muhammad Indrapraja[1]

“Seringkali kita berpikir semu, memandang semu, bahkan bertingkah semu.
Menganggap kita telah jauh melangkah, padahal hanya diam di tempat.
Tidak bahagia dan hanyut oleh waktu.”

         Lahir dan besar di Provinsi Riau membuat saya akrab dengan panorama perkebunan kelapa sawit. Sejak industri kelapa sawit mulai berkembang, kelapa sawit menjadi salah satu lokomotif perekonomian Provinsi Riau. Provinsi Riau merupakan daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 2,4 juta hektar. Luas perkebunan tersebut didukung dengan 270 pabrik kelapa sawit.[2] Hal tersebut berkontribusi mengantarkan Indonesia menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Suatu hal yang membanggakan, bukan?
Kelapa sawit memiliki peran strategis dalam meningkatkan pembangunan ekonomi nasional. Perkebunan yang begitu luas dan hasil produksi minyak kelapa sawit yang begitu besar, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekonomi rakyat. Kelapa sawit menjadi komoditas yang sangat menarik karena memiliki kualitas unggul. Minyak kelapa sawit dapat diaplikasikan dalam berbagai produk pangan maupun non pangan, seperti minyak goreng, margarin, es krim,  sabun, sampo, dan lain sebagainya.
Di tengah kemegahan tersebut, pengembangan industri kelapa sawit mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan. Pengembangan kelapa sawit menjadi faktor utama deforestasi. Termasuk deforestasi di kawasan hutan konservasi, lahan gambut, hutan primer, dan kawasan dengan populasi satwa-satwa langka yang dilindungi.[3]
Provinsi Riau sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, tentu mengalami dampak paling hebat. Pada tahun 1985, tutupan hutan di Riau sekitar 7 juta hektar. Namun, pada tahun 2011, lebih dari dua pertiganya telah dibuka.[4] Bahkan, deforestasi di Provinsi Riau juga terjadi di lahan gambut yang digunakan untuk pengembangan kelapa sawit. Padahal, lahan gambut tidak cocok untuk tanaman kering, seperti kelapa sawit. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana.
Sejak beberapa bulan terakhir, muncul bencana kabut asap di Provinsi Riau. Tidak hanya terjadi di Provinsi Riau bencana kabut asap juga melanda Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Provinsi-provinsi tersebut merupakan daerah sekitar khatulistiwa yang iklimnya cocok untuk kelapa sawit.[5] Dampak dari kabut asap begitu luar biasa, kerugian ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah. Miris bukan? Hal ini menunjukkan  bahwa kemegahan atas pemanfaatan lingkungan untuk pengembangan kelapa sawit hanyalah kemegahan semu. Kebanggaan atas pencapaian sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia sirna seketika.
Baru-baru ini, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan pemerintah sedang membahas upaya restorasi lahan gambut dengan biaya yang bisa mencapai puluhan triliun rupiah.[6] Pertanyaannya, uang siapa yang akan digunakan untuk membiayai restorasi tersebut? Tentu uang kita, rakyat Indonesia. Biaya tersebut merupakan biaya sosial yang dipikul secara bersama oleh rakyat Indonesia.
Haruskah kita meninggalkan industri kelapa sawit? Tidak. Industri kelapa sawit merupakan sektor andalan perekonomian Indonesia. Terdapat kepentingan negara, rakyat dan pelaku usaha yang harus dipertahankan karena manfaat yang diberikan. Oleh karena itu, solusinya ialah penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri kelapa sawit (sustainable palm oil). Prinsip pembangunan berkelanjutan ialah prinsip pemanfaatan lingkungan dengan menjaga kualitas lingkungan, agar dapat dinikmati oleh generasi saat ini dan generasi akan datang secara seimbang.
Dalam penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan di industri kelapa sawit, tiap-tiap individu memegang peranan penting dalam kedudukannya sebagai konsumen. Terlebih, sebagai negara dengan populasi penduduk yang sangat tinggi, perilaku konsumen Indonesia sangat mempengaruhi pasar. Berdasarkan pemikiran dari Angus Deaton (peraih nobel ekonomi tahun 2015) diketahui bahwa konsumsi barang atau jasa memiliki pengaruh yang fundamental terhadap kesejahteraan manusia.[7] Atas dasar itu, diperlukan penataan perilaku konsumen.
Dalam konteks pengembangan sustainable palm oil, perilaku konsumen yang bijak dapat dilakukan dengan mengkonsumsi produk kelapa sawit yang diproduksi sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini diyakini dapat menekan pelaku usaha untuk mengelola industri kelapa sawit dengan bijak. Hal ini juga dapat menghindarkan kerusakan lingkungan dan kegagalan pasar (market failure) akibat eksternalitas biaya. Eksternalitas tersebut dibuktikan dengan harga suatu produk yang tidak mencerminkan biaya-biaya lingkungan.[8] Para ekonom percaya bahwa jika biaya eksternal ini secara total dipertimbangkan oleh individu, maka individu tersebut akan bertindak optimal untuk mencegah terjadinya kegagalan pasar dan bergerak ke arah yang optimal (sustainable palm oil).[9]
Penataan perilaku konsumen bukanlah hal yang mudah. Kedudukan konsumen relatif lebih rendah daripada produsen. Selain itu, mayoritas tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan masyarakat yang belum sejahtera, akan menghambat penataan perilaku konsumen. Konsumen akan cenderung memilih produk yang murah dan mudah didapatkan. Art Markman memberikan formula untuk mengubah perilaku seseorang (termasuk konsumen), dengan menerapkan pemetaan yang konsisten (consistent mapping) dan pengulangan (repetition).[10] Pemetaan yang konsisten bermakna perilaku yang ingin dicapai harus terasosiasi dengan kondisi-kondisi sekitar konsumen (eksternal). Hal ini bertujuan untuk memaksa dan mempermudah perubahan perilaku konsumen. Kemudian, perilaku tersebut wajib dilakukan secara konsisten, sehingga menimbulkan suatu kebiasaan baru.
Penataan perilaku konsumen sekedar dengan memberikan edukasi kepada konsumen tidak efektif dan efisien untuk merubah perilaku konsumen. Indonesia dituntut melakukan penataan perilaku konsumen secara efektif dan efisien, agar terhindar dari degradasi kualitas lingkungan yang semakin parah.
Atas dasar itu, berdasarkan formula yang diberikan Art Markman, diperlukan kondisi-kondisi eksternal yang dapat menekan dan mempermudah perubahan perilaku konsumen. Pemerintah memegang peranan penting. Tidak hanya sekedar memberikan edukasi terhadap konsumen, pemerintah wajib menciptakan kondisi-kondisi eksternal yang memudahkan akses konsumen memperoleh produk yang diproses dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kondisi eksternal tersebut dapat diwujudkan dengan menerapkan peraturan yang dapat menekan pelaku usaha untuk memproduksi atau menjual produk dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Misalnya, peraturan yang memberikan standar atau sertifikasi industri kelapa sawit. Sejak tahun 2011, pemerintah telah memiliki program Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan program sertifikasi pengembangan kelapa sawit.[11] Sebelum itu,  telah dikenal asosiasi non pemerintah yang bersifat non profit dan sukarela dalam sertifikasi pengembangan kelapa sawit, yakni Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).  Adanya program sertifikasi tersebut perlu disambut positif dan dioptimalkan pelaksanannya.
Selain itu, diperlukan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menyertakan informasi terkait rantai produksi. Misalnya, mewajibkan penyertaan informasi di tiap kemasan produk (eco-labeling atau sertifikasi) yang memberikan informasi kepada konsumen tentang dampak lingkungan dari suatu produk. Saat ini penyediaan informasi tersebut masih bersifat sukarela.[12]
Pengaturan tersebut bertujuan untuk memaksa dan mempermudah calon pencemar (produsen ataupun konsumen) untuk mempertimbangkan setiap keputusannya. Selanjutnya, hal yang musti dilakukan ialah pengawasan dan penegakkan peraturan secara berkala, responsif, dan tegas. Harapannya timbul kebiasaan masyarakat yang menggeser perilaku konsumen ke arah penataan yang berorientasi terhadap pencapaian kesejahteraan generasi saat ini dan akan datang. Ditambah dengan tekad dari diri konsumen sendiri, maka kelapa sawit akan terus menjadi lokomotif pembangunan nasional.




[1] Penulis merupakan mahasiswa aktif semester 5 Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[2] Dinas Pendapatan Provinsi Riau, “Jika Bea Keluar CPO Bisa Disalurkan ke Daerah Penghasil Sawit, Riau Bisa Dapat Jatah 6 Triliun” www.riau.go.id, diakses tanggal 30 Oktober 2015.
[3] Irwan Gunawan, “Sertifikasi Kelapa Sawit Sebagai Instrumen Daya Saing Ekonomi” www.wwf.or.id, diakses tanggal 30 Oktober 2015.
[4] Greenpeace, Bagaimana Deforestasi dari Perkebunan Kelapa Sawit Mendorong Harimau Sumatra Menuju Kepunahan: Izin Memusnahkan, (Amsterdam: Greenpeace International, 2013), hlm. 13.
[5] Emil Salim, “Kebakaran Hutan: Ini Pelajaran yang Pahit Sekali” Kompas, (26 Oktober 2015), hlm. 21.
[6] Jusuf Kalla, “Kerusakan Gambut: Restorasi Puluhan Triliun Disiapkan” Kompas, (28 Oktober 2015), hlm. 1.
[7] The Royal Swedish Academy of Sciences, Angus Deaton: Consumption, Poverty, and Welfare, (Stockhholm: The Royal Swedish Academy of Sciences, 2015), hlm. 1.
[8] Andri G. Wibisana, “Penataan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan Penataan Sukarela” (bahan mata kuliah hukum lingkungan Fakultas Hukum UI, Depok, 2015), hlm.
[9] R.K. Turner, D. Pearce, dan I. Bateman, Environmental Economics: an Elementary Introduction, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1994), hlm. 77.
[10] Art Markman, Five Tools to Create New and Sustainable Habits in Yourself and Others: Smart Change, (New York: A Perigee Book, 2014), hlm. 35.
[11] Tahun 2015 diperbarui dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
[12] Andri G. Wibisana, Op. Cit., hlm. 21.

Kamis, 08 Oktober 2015

(Celotehan) Pemanfaatan Lingkungan Hidup


(Celotehan) Pemanfaatan
Lingkungan Hidup
oleh Fadhil M. Indrapraja[1]

“Hanya ada satu tempat dan periode untuk hidup, semua atas karunia tuhan yang maha esa. Tak pantas karena menempatkan uang adalah esa, satu tempat dan periode tersebut direnggut dan tak terpedulikan”

Dalam rangka mencapai taraf hidup yang lebih baik, manusia terus berupaya melakukan pembangunan. Pembangunan merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Setiap pembangunan selalu terkait dengan pemanfaatan lingkungan, paling tidak dalam hal pemanfaatan ruang. Pemanfaatan lingkungan bukanlah hal yang diharamkan, terlebih jika menjadi bagian dari upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks negara Indonesia, kebolehan tersebut tercermin dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, pemanfaatan lingkungan harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan atau yang populer dengan istilah sustainable development.
            Berdasarkan definisi yang diberikan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial, peningkatan kesejahteraan ekonomi, serta kualitas lingkungan hidup yang didukung oleh tata kelola pelaksanaan pembangunan. Dari definisi tersebut, dapat kita pahami bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya keseimbangan kepentingan antara keberlanjutan kehidupan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan kualitas lingkungan hidup. Keseimbangan kepentingan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Merujuk terhadap kebolehan pemanfaatan lingkungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, prinsip pembangunan berkelanjutan mutlak harus diterapkan dalam pemanfaatan lingkungan. Hal ini didasarkan atas kebolehan pemanfaatan lingkungan sebagai upaya mencapai kemakmuran seluruh rakyat. Seluruh rakyat seyogyanya kita maknai sebagai kemakmuran yang juga dirasakan generasi akan datang. Suatu hal yang sampai saat ini masih terlihat semu dan seringkali kita acuhkan.
            Sifat acuh tersebut tercermin dengan munculnya berbagai permasalahan lingkungan. Beberapa bulan terakhir, kita dihadapkan dengan bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini merupakan akibat pola tindak manusia yang memanfaatkan lingkungan secara serakah. Pada dasarnya, lingkungan memiliki kemampuan untuk menjaga keteraturannya, namun akibat kesewenangan tindak manusia, kemampuan tersebut secara perlahan hilang dan menimbulkan bencana. Keserakahan membawa kerugian bagi diri manusia. Manusia berperan sebagai pelaku, sekaligus korban.
Sebagai contoh, bencana kabut asap yang melanda sebagian wilayah provinsi di Kalimantan dan Sumatera telah mengakibatkan kerugian materiil yang ditaksir mencapai puluhan triliun. Bencana kabut asap mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan negara dan aktivitas masyarakat. Tidak kalah pentingnya ialah hilangnya “euforia” dan motivasi masyarakat untuk beraktivitas akibat sesaknya udara yang mereka hirup. Akibat terburuk tentu saja jatuhnya korban jiwa.
Satu hal yang wajib generasi saat ini sadari ialah potensi meningkatnya permasalahan lingkungan di masa akan datang. Kita tinjau dari aspek pertumbuhan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk yang sulit dikontrol (2010-2015, 1,38 %)[2] akan berbanding lurus terhadap meningkatnya kebutuhan pemanfaatan lingkungan hidup. Terlebih, saat ini Indonesia telah memasuki masa bonus demografi, yang mana penduduk usia produktif mendominasi struktur penduduk nasional (67 %)[3]. Tingginya mobilitas penduduk usia produktif, lagi-lagi akan menuntut peningkatan pemanfaatan lingkungan. Apabila tidak disikapi dengan bijak, tentunya kondisi tersebut akan membawa bencana bagi bangsa Indonesia.
Saat ini muncul beragam permasalahan yang cukup rumit dan sulit diatasi. Bagaimana di masa yang akan datang? Tanpa adanya upaya preventif dari pemerintah untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, berbagai permasalahan seperti krisis air bersih, krisis energi, kabut asap, banjir, longsor, dan sebagainya merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi.
            Atas dasar itu, negara dituntut untuk berperan aktif dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Saat ini negara telah melakukan tindakan dengan menghadirkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU tersebut berperan sebagai instrumen hukum dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, setelah kurang lebih enam tahun UU ini disahkan, negara masih abai. Keabaian tersebut akan coba saya uraikan pada tulisan berikutnya.
Dibalik keabaian negara, pada dasarnya masyarakat memiliki kewajiban dan peran penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sulit jika hanya berharap pada negara (pemerintah). Negara tidak mungkin dapat menyelesaikan seluruh permasalahan tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, wilayah yang begitu luas dan akses yang terbatas untuk menjangkau beberapa wilayah tertentu akan mengakibatkan tidak efektifnya pengawasan dan penegakan UU PPLH. Hal ini merupakan akibat keterbatasan kompetensi dan jumlah sumber daya aparatur negara. Salah satu solusinya ialah pendayagunaan kekuatan masyarakat. Bukan berarti kita membiarkan negara untuk acuh, namun masyarakat memiliki potensi dalam hal pengawasan dan pemberian tekanan publik sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang konsisten dan menyeluruh.
Jika hal itu masih cukup sulit, mulailah berproses dari hal sederhana, misalnya dengan sadar dan mengurangi pencemaran lingkungan yang secara individu tiap hari kita lakukan. Akumulasi pencemaran yang tiap hari kita lakukan akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Bagaimana jika batas daya dukung dan daya tampung lingkungan akhirnya terlampaui? Bersiaplah untuk menghadapi bencana.






[1] Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2013
[2] Data dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2015.
[3] Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia masa bonus demografi Indonesia berada pada tahun 2010-2035, dan mencapai puncak pada tahun 2028-2030.