“Hanya ada satu tempat dan periode untuk hidup,
semua atas karunia tuhan yang maha esa. Tak pantas karena menempatkan uang
adalah esa, satu tempat dan periode tersebut direnggut dan tak terpedulikan”
Dalam
rangka mencapai taraf hidup yang lebih baik, manusia terus berupaya melakukan
pembangunan. Pembangunan merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk meningkatkan
taraf kesejahteraan masyarakat. Setiap pembangunan selalu terkait dengan pemanfaatan
lingkungan, paling tidak dalam hal pemanfaatan ruang. Pemanfaatan lingkungan
bukanlah hal yang diharamkan, terlebih jika menjadi bagian dari upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks negara Indonesia, kebolehan tersebut
tercermin dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, pemanfaatan lingkungan harus
dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan prinsip pembangunan
berkelanjutan atau yang populer dengan istilah sustainable development.
Berdasarkan definisi yang diberikan
oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pembangunan
berkelanjutan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang,
tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhannya. Dalam rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai
pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial, peningkatan
kesejahteraan ekonomi, serta kualitas lingkungan hidup yang didukung oleh tata
kelola pelaksanaan pembangunan. Dari definisi tersebut, dapat kita pahami bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya keseimbangan kepentingan
antara keberlanjutan kehidupan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan kualitas
lingkungan hidup. Keseimbangan kepentingan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Merujuk
terhadap kebolehan pemanfaatan lingkungan sebagaimana yang diatur dalam pasal
33 ayat (3) UUD 1945, prinsip pembangunan berkelanjutan mutlak harus diterapkan
dalam pemanfaatan lingkungan. Hal ini didasarkan atas kebolehan pemanfaatan
lingkungan sebagai upaya mencapai kemakmuran seluruh rakyat. Seluruh rakyat
seyogyanya kita maknai sebagai kemakmuran yang juga dirasakan generasi akan
datang. Suatu hal yang sampai saat ini masih terlihat semu dan seringkali kita
acuhkan.
Sifat acuh tersebut tercermin dengan
munculnya berbagai permasalahan lingkungan. Beberapa bulan terakhir, kita
dihadapkan dengan bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Sumatera
dan Kalimantan. Hal ini merupakan akibat pola tindak manusia yang memanfaatkan
lingkungan secara serakah. Pada dasarnya, lingkungan memiliki kemampuan untuk
menjaga keteraturannya, namun akibat kesewenangan tindak manusia, kemampuan
tersebut secara perlahan hilang dan menimbulkan bencana. Keserakahan membawa
kerugian bagi diri manusia. Manusia berperan sebagai pelaku, sekaligus korban.
Sebagai
contoh, bencana kabut asap yang melanda sebagian wilayah provinsi di Kalimantan
dan Sumatera telah mengakibatkan kerugian materiil yang ditaksir mencapai
puluhan triliun. Bencana kabut asap mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan
negara dan aktivitas masyarakat. Tidak kalah pentingnya ialah hilangnya
“euforia” dan motivasi masyarakat untuk beraktivitas akibat sesaknya udara yang
mereka hirup. Akibat terburuk tentu saja jatuhnya korban jiwa.
Satu
hal yang wajib generasi saat ini sadari ialah potensi meningkatnya permasalahan
lingkungan di masa akan datang. Kita tinjau dari aspek pertumbuhan jumlah
penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk yang sulit dikontrol (2010-2015, 1,38 %)[2]
akan berbanding lurus terhadap meningkatnya kebutuhan pemanfaatan lingkungan
hidup. Terlebih, saat ini Indonesia telah memasuki masa bonus demografi, yang
mana penduduk usia produktif mendominasi struktur penduduk nasional (67 %)[3]. Tingginya
mobilitas penduduk usia produktif, lagi-lagi akan menuntut peningkatan
pemanfaatan lingkungan. Apabila tidak disikapi dengan bijak, tentunya kondisi
tersebut akan membawa bencana bagi bangsa Indonesia.
Saat
ini muncul beragam permasalahan yang cukup rumit dan sulit diatasi. Bagaimana di
masa yang akan datang? Tanpa adanya upaya preventif dari pemerintah untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan, berbagai permasalahan seperti krisis air bersih, krisis energi,
kabut asap, banjir, longsor, dan sebagainya merupakan suatu hal yang pasti akan
terjadi.
Atas dasar itu, negara dituntut
untuk berperan aktif dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Saat ini negara telah melakukan tindakan dengan menghadirkan Undang-undang
Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH). UU tersebut berperan sebagai instrumen hukum dalam upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, setelah kurang lebih enam tahun UU ini
disahkan, negara masih abai. Keabaian tersebut akan coba saya uraikan pada
tulisan berikutnya.
Dibalik
keabaian negara, pada dasarnya masyarakat memiliki kewajiban dan peran penting
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sulit jika hanya berharap
pada negara (pemerintah). Negara tidak mungkin dapat menyelesaikan seluruh permasalahan
tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, wilayah yang begitu luas dan akses yang terbatas
untuk menjangkau beberapa wilayah tertentu akan mengakibatkan tidak efektifnya pengawasan
dan penegakan UU PPLH. Hal ini merupakan akibat keterbatasan kompetensi dan jumlah
sumber daya aparatur negara. Salah satu solusinya ialah pendayagunaan kekuatan
masyarakat. Bukan berarti kita membiarkan negara untuk acuh, namun masyarakat
memiliki potensi dalam hal pengawasan dan pemberian tekanan publik sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang konsisten dan menyeluruh.
Jika
hal itu masih cukup sulit, mulailah berproses dari hal sederhana, misalnya
dengan sadar dan mengurangi pencemaran lingkungan yang secara individu tiap
hari kita lakukan. Akumulasi pencemaran yang tiap hari kita lakukan akan
mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Bagaimana jika batas daya
dukung dan daya tampung lingkungan akhirnya terlampaui? Bersiaplah untuk
menghadapi bencana.
[1] Penulis
merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2013
[2] Data
dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2015.
[3] Menurut
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia masa bonus demografi Indonesia berada
pada tahun 2010-2035, dan mencapai puncak pada tahun 2028-2030.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar