Kamis, 08 Oktober 2015

(Celotehan) Pemanfaatan Lingkungan Hidup


(Celotehan) Pemanfaatan
Lingkungan Hidup
oleh Fadhil M. Indrapraja[1]

“Hanya ada satu tempat dan periode untuk hidup, semua atas karunia tuhan yang maha esa. Tak pantas karena menempatkan uang adalah esa, satu tempat dan periode tersebut direnggut dan tak terpedulikan”

Dalam rangka mencapai taraf hidup yang lebih baik, manusia terus berupaya melakukan pembangunan. Pembangunan merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Setiap pembangunan selalu terkait dengan pemanfaatan lingkungan, paling tidak dalam hal pemanfaatan ruang. Pemanfaatan lingkungan bukanlah hal yang diharamkan, terlebih jika menjadi bagian dari upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks negara Indonesia, kebolehan tersebut tercermin dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, pemanfaatan lingkungan harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan atau yang populer dengan istilah sustainable development.
            Berdasarkan definisi yang diberikan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial, peningkatan kesejahteraan ekonomi, serta kualitas lingkungan hidup yang didukung oleh tata kelola pelaksanaan pembangunan. Dari definisi tersebut, dapat kita pahami bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya keseimbangan kepentingan antara keberlanjutan kehidupan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan kualitas lingkungan hidup. Keseimbangan kepentingan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Merujuk terhadap kebolehan pemanfaatan lingkungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, prinsip pembangunan berkelanjutan mutlak harus diterapkan dalam pemanfaatan lingkungan. Hal ini didasarkan atas kebolehan pemanfaatan lingkungan sebagai upaya mencapai kemakmuran seluruh rakyat. Seluruh rakyat seyogyanya kita maknai sebagai kemakmuran yang juga dirasakan generasi akan datang. Suatu hal yang sampai saat ini masih terlihat semu dan seringkali kita acuhkan.
            Sifat acuh tersebut tercermin dengan munculnya berbagai permasalahan lingkungan. Beberapa bulan terakhir, kita dihadapkan dengan bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini merupakan akibat pola tindak manusia yang memanfaatkan lingkungan secara serakah. Pada dasarnya, lingkungan memiliki kemampuan untuk menjaga keteraturannya, namun akibat kesewenangan tindak manusia, kemampuan tersebut secara perlahan hilang dan menimbulkan bencana. Keserakahan membawa kerugian bagi diri manusia. Manusia berperan sebagai pelaku, sekaligus korban.
Sebagai contoh, bencana kabut asap yang melanda sebagian wilayah provinsi di Kalimantan dan Sumatera telah mengakibatkan kerugian materiil yang ditaksir mencapai puluhan triliun. Bencana kabut asap mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan negara dan aktivitas masyarakat. Tidak kalah pentingnya ialah hilangnya “euforia” dan motivasi masyarakat untuk beraktivitas akibat sesaknya udara yang mereka hirup. Akibat terburuk tentu saja jatuhnya korban jiwa.
Satu hal yang wajib generasi saat ini sadari ialah potensi meningkatnya permasalahan lingkungan di masa akan datang. Kita tinjau dari aspek pertumbuhan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk yang sulit dikontrol (2010-2015, 1,38 %)[2] akan berbanding lurus terhadap meningkatnya kebutuhan pemanfaatan lingkungan hidup. Terlebih, saat ini Indonesia telah memasuki masa bonus demografi, yang mana penduduk usia produktif mendominasi struktur penduduk nasional (67 %)[3]. Tingginya mobilitas penduduk usia produktif, lagi-lagi akan menuntut peningkatan pemanfaatan lingkungan. Apabila tidak disikapi dengan bijak, tentunya kondisi tersebut akan membawa bencana bagi bangsa Indonesia.
Saat ini muncul beragam permasalahan yang cukup rumit dan sulit diatasi. Bagaimana di masa yang akan datang? Tanpa adanya upaya preventif dari pemerintah untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, berbagai permasalahan seperti krisis air bersih, krisis energi, kabut asap, banjir, longsor, dan sebagainya merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi.
            Atas dasar itu, negara dituntut untuk berperan aktif dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Saat ini negara telah melakukan tindakan dengan menghadirkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU tersebut berperan sebagai instrumen hukum dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, setelah kurang lebih enam tahun UU ini disahkan, negara masih abai. Keabaian tersebut akan coba saya uraikan pada tulisan berikutnya.
Dibalik keabaian negara, pada dasarnya masyarakat memiliki kewajiban dan peran penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sulit jika hanya berharap pada negara (pemerintah). Negara tidak mungkin dapat menyelesaikan seluruh permasalahan tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, wilayah yang begitu luas dan akses yang terbatas untuk menjangkau beberapa wilayah tertentu akan mengakibatkan tidak efektifnya pengawasan dan penegakan UU PPLH. Hal ini merupakan akibat keterbatasan kompetensi dan jumlah sumber daya aparatur negara. Salah satu solusinya ialah pendayagunaan kekuatan masyarakat. Bukan berarti kita membiarkan negara untuk acuh, namun masyarakat memiliki potensi dalam hal pengawasan dan pemberian tekanan publik sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang konsisten dan menyeluruh.
Jika hal itu masih cukup sulit, mulailah berproses dari hal sederhana, misalnya dengan sadar dan mengurangi pencemaran lingkungan yang secara individu tiap hari kita lakukan. Akumulasi pencemaran yang tiap hari kita lakukan akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Bagaimana jika batas daya dukung dan daya tampung lingkungan akhirnya terlampaui? Bersiaplah untuk menghadapi bencana.






[1] Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2013
[2] Data dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2015.
[3] Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia masa bonus demografi Indonesia berada pada tahun 2010-2035, dan mencapai puncak pada tahun 2028-2030.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar