Sabtu, 19 September 2015

Esensi Lingkungan Hidup


Esensi Lingkungan Hidup
oleh Fadhil M. Indrapraja

“Sampailah kita pada suatu masa, ketika manusia seharusnya sadar akan ketidakperhatiannya terhadap lingkungan. Beratus tahun, manusia bersikap acuh. Kemudian, mencoba sedikit (atau berpura-pura) peduli.”

Kita seharusnya tidak lupa bahwa telah beratus tahun, dunia melewati fase revolusi industri (1750 – 1850 m). Revolusi industri mengakibatkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang pada mulanya bersifat tradisional ke arah mekanisasi (industri). Revolusi industri menimbulkan eksploitasi terhadap buruh (pekerja). Positifnya, revolusi industri yang menimbulkan eksploitasi buruh direspon dengan cepat melalui penerapan prinsip-prinsip dan pengaturan yang memberikan perlindungan terhadap buruh. Prinsip dan pengaturan tersebut telah berkembang di beberapa negara Eropa sejak tahun 1802 – 1870 yang kemudian menyebar ke berbagai negara lainnya.[1]
Revolusi industri dapat dipastikan tidak hanya mengakibatkan munculnya eksploitasi terhadap buruh, tetapi juga eksploitasi terhadap lingkungan hidup. Berbeda dengan eksploitasi buruh, respon terhadap eksploitasi lingkungan hidup berlangsung lambat. Bahkan, Prof. Munadjat Danusaputro (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran) menyatakan bahwa hukum yang mengatur mengenai lingkungan merupakan suatu “pendatang baru” dalam “keluarga hukum”.[2] Baru pada tahun 1960-an, dunia menaruh perhatian lebih terhadap masalah lingkungan hidup. Mulai dari munculnya buku karya Rachel Carson yang berjudul The Silent Spring yang mana pada era itu menjadi best seller di Amerika Serikat[3], serta terbentuknya beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society yang menjadi perintis lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia.[4] Kemudian, dunia Internasional semakin menaruh perhatian dan menjadikan lingkungan sebagai isu yang perlu ditanggulangi bersama pada tahun 1972 dengan diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on the Human Environment) di Stockholm, Swedia.
Hal tersebut menunjukkan betapa lambatnya respon manusia akan permasalahan lingkungan. Manusia hanya tergerak secara cepat apabila kepentingannya terancam atau terganggu secara langsung. Memang, sudah takdir dzat yang maha kuasa, lingkungan tidak diberi hak untuk berbicara dan bergejolak secara langsung, lingkungan hanya diberikan hak untuk menunjukkan tanda-tanda ketidaksukaannya.
Dalam ilmu ekologi, manusia adalah satu kesatuan yang terpadu dengan lingkungannya.[5] Kesatuan yang terpadu mengartikan bahwa manusia dan lingkungan  memiliki kedudukan yang sama dan mutlak saling membutuhkan. Meskipun, manusia dan lingkungan memiliki kedudukan yang sama, manusia memiliki peran lebih karena memiliki daya akal. Peran tersebut seyogyanya berfungsi untuk menentukan tata susunan lingkungan, bukan untuk mengasai alam karena seperti apa yang dikatakan oleh Cicero seorang filsuf romawi, alam tidak dapat dikuasai.[6] Jadi, ketika manusia mencoba untuk menguasai lingkungan dan tidak menjaga keseimbangannya, maka lingkungan akan memberikan bencana bagi keteraturan hidup manusia itu sendiri.
InsyaAllah dalam beberapa minggu ke depan saya akan mencoba untuk rutin membahas berbagai isu lingkungan, misalnya terkait legalitas pemanfaatan lingkungan hidup, prinsip pembangunan berkelanjutan, tanggung jawab negara terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan individu, serta berbagai persoalan lainnya. Pantau terus, semoga membuka gerbang diskusi di antara kita :)





[1] Aloysius, Uwiyono, Asas-asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 77.
[2] Danusaputro, Munadjat, Hukum Lingkungan (Buku I: Umum), (Binacipta, 1985), hlm. 207.
[3] Artikel yang berjudul Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan karya Andri Gunawan Wibisana.
[4] Brenton, Tony, The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics, (London: Earthscan, 1994), hlm. 18 -19.
[5] Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 43.
[6] Danusaputro, Munadjat, Op.Ci.t, hlm. 191.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar