Penataan Perilaku Konsumen:
Optimalisasi Perilaku Konsumen dalam Meningkatkan Kesejahteraan Generasi Saat
Ini dan Akan Datang
Fadhil
Muhammad Indrapraja[1]
“Seringkali kita
berpikir semu, memandang semu, bahkan bertingkah semu.
Menganggap kita
telah jauh melangkah, padahal hanya diam di tempat.
Tidak bahagia
dan hanyut oleh waktu.”
Lahir dan besar di Provinsi Riau
membuat saya akrab dengan panorama perkebunan kelapa sawit. Sejak industri
kelapa sawit mulai berkembang, kelapa sawit menjadi salah satu lokomotif perekonomian
Provinsi Riau. Provinsi Riau merupakan daerah penghasil kelapa sawit terbesar
di Indonesia. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 2,4 juta
hektar. Luas perkebunan tersebut didukung dengan 270 pabrik kelapa sawit.[2] Hal
tersebut berkontribusi mengantarkan Indonesia menjadi negara penghasil minyak
kelapa sawit terbesar di dunia. Suatu hal yang membanggakan, bukan?
Kelapa
sawit memiliki peran strategis dalam meningkatkan pembangunan ekonomi nasional.
Perkebunan yang begitu luas dan hasil produksi minyak kelapa sawit yang begitu
besar, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekonomi rakyat. Kelapa sawit
menjadi komoditas yang sangat menarik karena memiliki kualitas unggul. Minyak
kelapa sawit dapat diaplikasikan dalam berbagai produk pangan maupun non
pangan, seperti minyak goreng, margarin, es krim, sabun, sampo, dan lain sebagainya.
Di
tengah kemegahan tersebut, pengembangan industri kelapa sawit mengakibatkan
degradasi kualitas lingkungan. Pengembangan kelapa sawit menjadi faktor utama
deforestasi. Termasuk deforestasi di kawasan hutan konservasi, lahan gambut,
hutan primer, dan kawasan dengan populasi satwa-satwa langka yang dilindungi.[3]
Provinsi
Riau sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, tentu mengalami
dampak paling hebat. Pada tahun 1985, tutupan hutan di Riau sekitar 7 juta
hektar. Namun, pada tahun 2011, lebih dari dua pertiganya telah dibuka.[4]
Bahkan, deforestasi di Provinsi Riau juga terjadi di lahan gambut yang
digunakan untuk pengembangan kelapa sawit. Padahal, lahan gambut tidak cocok
untuk tanaman kering, seperti kelapa sawit. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan
yang mengakibatkan bencana.
Sejak
beberapa bulan terakhir, muncul bencana kabut asap di Provinsi Riau. Tidak
hanya terjadi di Provinsi Riau bencana kabut asap juga melanda Provinsi
Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan
Timur. Provinsi-provinsi tersebut merupakan daerah sekitar khatulistiwa yang iklimnya
cocok untuk kelapa sawit.[5] Dampak
dari kabut asap begitu luar biasa, kerugian ditaksir mencapai puluhan triliun
rupiah. Miris bukan? Hal ini menunjukkan
bahwa kemegahan atas pemanfaatan lingkungan untuk pengembangan kelapa sawit
hanyalah kemegahan semu. Kebanggaan atas pencapaian sebagai penghasil minyak
sawit terbesar di dunia sirna seketika.
Baru-baru
ini, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan pemerintah sedang membahas upaya
restorasi lahan gambut dengan biaya yang bisa mencapai puluhan triliun rupiah.[6]
Pertanyaannya, uang siapa yang akan digunakan untuk membiayai restorasi
tersebut? Tentu uang kita, rakyat Indonesia. Biaya tersebut merupakan biaya
sosial yang dipikul secara bersama oleh rakyat Indonesia.
Haruskah
kita meninggalkan industri kelapa sawit? Tidak. Industri kelapa sawit merupakan
sektor andalan perekonomian Indonesia. Terdapat kepentingan negara, rakyat dan
pelaku usaha yang harus dipertahankan karena manfaat yang diberikan. Oleh
karena itu, solusinya ialah penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri
kelapa sawit (sustainable palm oil).
Prinsip pembangunan berkelanjutan ialah prinsip pemanfaatan lingkungan dengan
menjaga kualitas lingkungan, agar dapat dinikmati oleh generasi saat ini dan
generasi akan datang secara seimbang.
Dalam
penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan di industri kelapa sawit, tiap-tiap
individu memegang peranan penting dalam kedudukannya sebagai konsumen.
Terlebih, sebagai negara dengan populasi penduduk yang sangat tinggi, perilaku
konsumen Indonesia sangat mempengaruhi pasar. Berdasarkan pemikiran dari Angus
Deaton (peraih nobel ekonomi tahun 2015) diketahui bahwa konsumsi barang atau
jasa memiliki pengaruh yang fundamental terhadap kesejahteraan manusia.[7]
Atas dasar itu, diperlukan penataan perilaku konsumen.
Dalam
konteks pengembangan sustainable palm oil,
perilaku konsumen yang bijak dapat dilakukan dengan mengkonsumsi produk kelapa
sawit yang diproduksi sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini
diyakini dapat menekan pelaku usaha untuk mengelola industri kelapa sawit
dengan bijak. Hal ini juga dapat menghindarkan kerusakan lingkungan dan kegagalan
pasar (market failure) akibat eksternalitas
biaya. Eksternalitas tersebut dibuktikan dengan harga suatu produk yang tidak mencerminkan
biaya-biaya lingkungan.[8]
Para ekonom percaya bahwa jika biaya eksternal ini secara total dipertimbangkan
oleh individu, maka individu tersebut akan bertindak optimal untuk mencegah
terjadinya kegagalan pasar dan bergerak ke arah yang optimal (sustainable palm oil).[9]
Penataan
perilaku konsumen bukanlah hal yang mudah. Kedudukan konsumen relatif lebih
rendah daripada produsen. Selain itu, mayoritas tingkat pendidikan masyarakat
yang masih rendah dan masyarakat yang belum sejahtera, akan menghambat penataan
perilaku konsumen. Konsumen akan cenderung memilih produk yang murah dan mudah
didapatkan. Art Markman memberikan formula untuk mengubah perilaku seseorang (termasuk
konsumen), dengan menerapkan pemetaan yang konsisten (consistent mapping) dan
pengulangan (repetition).[10] Pemetaan
yang konsisten bermakna perilaku yang ingin dicapai harus terasosiasi dengan
kondisi-kondisi sekitar konsumen (eksternal). Hal ini bertujuan untuk memaksa
dan mempermudah perubahan perilaku konsumen. Kemudian, perilaku tersebut wajib
dilakukan secara konsisten, sehingga menimbulkan suatu kebiasaan baru.
Penataan
perilaku konsumen sekedar dengan memberikan edukasi kepada konsumen tidak efektif
dan efisien untuk merubah perilaku konsumen. Indonesia dituntut melakukan penataan
perilaku konsumen secara efektif dan efisien, agar terhindar dari degradasi
kualitas lingkungan yang semakin parah.
Atas
dasar itu, berdasarkan formula yang diberikan Art Markman, diperlukan
kondisi-kondisi eksternal yang dapat menekan dan mempermudah perubahan perilaku
konsumen. Pemerintah memegang peranan penting. Tidak hanya sekedar memberikan
edukasi terhadap konsumen, pemerintah wajib menciptakan kondisi-kondisi
eksternal yang memudahkan akses konsumen memperoleh produk yang diproses dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kondisi
eksternal tersebut dapat diwujudkan dengan menerapkan peraturan yang dapat
menekan pelaku usaha untuk memproduksi atau menjual produk dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Misalnya, peraturan yang memberikan standar atau
sertifikasi industri kelapa sawit. Sejak tahun 2011, pemerintah telah memiliki
program Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO) yang merupakan program sertifikasi pengembangan kelapa sawit.[11] Sebelum itu, telah dikenal asosiasi non pemerintah yang bersifat non profit dan sukarela dalam sertifikasi pengembangan kelapa sawit, yakni Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Adanya
program sertifikasi tersebut perlu disambut positif dan dioptimalkan
pelaksanannya.
Selain
itu, diperlukan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menyertakan
informasi terkait rantai produksi. Misalnya, mewajibkan penyertaan informasi di
tiap kemasan produk (eco-labeling atau
sertifikasi) yang memberikan informasi kepada konsumen tentang dampak
lingkungan dari suatu produk. Saat ini penyediaan informasi tersebut masih
bersifat sukarela.[12]
Pengaturan
tersebut bertujuan untuk memaksa dan mempermudah calon pencemar (produsen ataupun
konsumen) untuk mempertimbangkan setiap keputusannya. Selanjutnya, hal yang
musti dilakukan ialah pengawasan dan penegakkan peraturan secara berkala, responsif,
dan tegas. Harapannya timbul kebiasaan masyarakat yang menggeser perilaku
konsumen ke arah penataan yang berorientasi terhadap pencapaian kesejahteraan
generasi saat ini dan akan datang. Ditambah dengan tekad dari diri konsumen
sendiri, maka kelapa sawit akan terus menjadi lokomotif pembangunan nasional.
[1] Penulis merupakan mahasiswa
aktif semester 5 Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[2] Dinas Pendapatan Provinsi Riau, “Jika
Bea Keluar CPO Bisa Disalurkan ke Daerah Penghasil Sawit, Riau Bisa Dapat Jatah
6 Triliun” www.riau.go.id, diakses tanggal 30 Oktober 2015.
[3] Irwan Gunawan, “Sertifikasi
Kelapa Sawit Sebagai Instrumen Daya Saing Ekonomi” www.wwf.or.id, diakses tanggal 30 Oktober
2015.
[4] Greenpeace, Bagaimana Deforestasi dari Perkebunan Kelapa Sawit Mendorong Harimau
Sumatra Menuju Kepunahan: Izin Memusnahkan, (Amsterdam: Greenpeace
International, 2013), hlm. 13.
[5] Emil Salim, “Kebakaran Hutan:
Ini Pelajaran yang Pahit Sekali” Kompas,
(26 Oktober 2015), hlm. 21.
[6] Jusuf Kalla, “Kerusakan Gambut:
Restorasi Puluhan Triliun Disiapkan” Kompas,
(28 Oktober 2015), hlm. 1.
[7] The Royal Swedish Academy of
Sciences, Angus Deaton: Consumption,
Poverty, and Welfare, (Stockhholm: The Royal Swedish Academy of Sciences,
2015), hlm. 1.
[8] Andri G. Wibisana, “Penataan
Hukum Lingkungan: Command and Control,
Instrumen Ekonomi, dan Penataan Sukarela” (bahan mata kuliah hukum lingkungan
Fakultas Hukum UI, Depok, 2015), hlm.
[9] R.K. Turner, D. Pearce, dan I.
Bateman, Environmental Economics: an
Elementary Introduction, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1994), hlm. 77.
[10] Art Markman, Five Tools to Create New and Sustainable
Habits in Yourself and Others: Smart Change, (New York: A Perigee Book,
2014), hlm. 35.
[11] Tahun 2015 diperbarui dengan
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
[12] Andri G. Wibisana, Op. Cit., hlm. 21.